Senin, 02 Mei 2011

SAGU PEJABAT SANGIHE: Antara Harapan dan Kenyataan

Suatu hari, Boyke kawanku seorang wartawan mengalami nasib kurang beruntung. Isterinya mengeluh tak punya uang belanja. Esok harinya akan diselenggarakan persekutuan ibadah kelompok di rumahnya. Mereka sedang membahas persoalan klasik semua rumahtangga itu, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Di layarnya tertulis nama pejabat asal Sangihe yang pernah dibantunya dalam pencitraan diri. Boyke bergegas menekan tombol hijau dengan sejuta harap, akan mendapat jawaban dari pergumulan isterinya.

Dari balik ponsel itu, suara pejabat terdengar tak sekedar menyapa selamat siang atau menanyakan keadaan Boyke. Justru terlebih dahulu Boyke ditawari sebuah niatan baik.
Halooo kawanku Boyke
ada yang bisa saya bantu?

Boyke terperangah seakan-akan tak percaya.
Ohhhh bapak
Ada bae-bae ini pak!....
meski hidup ini selalu saja ada pergumulan.
Sebagai teman, sudah seharusnya saling menyapa, io toch pak?
(Boyke pura-pura bertanya padahal dia tahu jawabannya).

ok kawan.... apa pergumulanmu?
tanya pejabat penasaran sekaligus iba.

Begini pak.... tadi saya dan istri sedang membahas soal ibadah besok
Istriku bilang dia sudah tak punya cukup persediaan uang.
Jangankan untuk belanja kue, buat belanja sagu pun uangnya tidak cukup.
Begitulah pak duduk soalnya!
Terasa lega perasaan Boyke setelah menguatarakan pergumulannya itu.

Baiklah kawan....
Saya akan bantu ibu ya....
Saya akan kirim "sagu" sebentar sore
Lalu HP sang pejabat mati mungkin karena gangguan jaringan.

Tiba-tiba disusul SMS:
Kiriman saya titipkan pada ABK (Anak Buah Kapal).
Namanya PK...alias Piter.. ingat baik-baik ya?
Besok jam 4  subuh jemput di pelabuhan Manado
Maaf tadi hp saya mati karena jaringan kurang bagus. 

Spontan respon Boyke membalas:
terimakasih banyak pak.
kebetulan PK teman sekelas saya waktu SMP dulu...:)
tanpa bantuan bapak, saya nyaris dibunuh isteri,... katanya basa-basi mereplay pesan masuk sang pejabat.

Ihwal percakapan Boyke dengan pejabat itu diteruskan kepada isterinya. Isteri Boyke berharap-harap cemas. Kecemasan itu sejenak ditularkan kepada Boyke dengan melontar pertanyaan; kage lei dia kirim sagu betul no????
Boyke sontak mengernyitkan dahi kanannya sambil berkata, mati aku.....!!!

Tentunya harapan masih saja menjadi modal dasar yang kuat bagi Boyke yang tidak pernah pesimis itu. Seyogyanya bukan sagu yang sedang kami bicarakan. Melainkan sagu dalam bentuk lain. Sagu yang sudah diversifikasi menjadi kertas-kertas merah anti air, harapnya dalam hati. Demikianlah Boyke memulihkan pesimisme isterinya dalam pikirannya sendiri menjadi sebuah optimisme yang selalu mewarnai hidupnya ketika menyikapi semua persoalan yang menyeruak dan menghantam dirinya.

Bukanlah Boyke kalau kehilangan semangat hidup. Pria seribu akal itu memprogram alarm ponselnya di pukul 03.00 wita. Hingga dia benar-benar bisa tidur nyenyak laksana pangeran tanpa banyak pikir tentang kekuatiran hari esok. Begitu pula sepeda motor vespa terbitan tahun 1930 miliknya sudah dipersiapkan malam itu. Tepat pukul 03.00, alarm ponsel membangunkannya dan ia bergegas cuci muka. Perlu setengah jam menuju pelabuhan Manado. Tiba di pelabuhan, Boyke menelepon Piter K. Piter K menawarkan dirinya akan mengantar kiriman pejabat itu langsung ke rumah Boyke, tetapi Boyke menolak karena dirinya sudah berada di dermaga menanti dengan sejuta harap. Beberapa saat diperoleh kabar, kapal Piter k sudah masuk ke dermaga dan Piter K memintakan Boyke untuk naik ke dek (anjungan kapal).

Momok tentang keraguan isterinya semakin sirna tatkala mendengar permintaan Piter K untuk naik ke anjungan. Pikir Boyke, jika sagu tidak mungkin diletakkan Piter K di anjungan. Ini pasti sagu yang kuharapkan, bukan sagu versi isteriku. Begitulah perdebatan infokus terjadi dalam otak kanan Boyke. Sejauh ini, semua proposisi mengarah pada hipotesaku yang diterima, bukan hipotesa istriku.... bathin Boyke berkata demikian sambil terus melewati anak-anak tangga kapal dan menemui Piter K yg duduk sambil meneguk kopi hangatnya.

Terjadilah percakapan selama satu jam dengan kawan lamanya yg baru bersua.
Setelah itu tiba pada substansi.
Piter K berkata, mari jo torang dua ke bawah.
Mo ambe itu kiriman di kamar mesin.      

Mendengar ajakan seperti itu, Boyke terasa ingin sekali menampar keras muka Piter K.
Boyke hanya dapat berkata lirih dua huruf.....io
Nampak di samping kamar mesin, beberapa bika sagu berukuran tinggi kurang lebih 75 cm dengan diameter 25 cm.
Sagu yang sangat banyak,.... kata Boyke seolah-olah berpikir mencari solusi bagaimana membawanya pulang.
Yupzzzz, bersyukurlah kawan kau mendapat rezeki pagi-pagi buta begini, sahut Piter K tak memahami kecewa Boyke.

Pada situasi semacam itu, Boyke masih punya harapan.
Sambil terus mengulur waktu, Boyke melontarkan beberapa pernyataan yang mengarahkan agar Piter K mengatakan bahwa masih ada kiriman lain berupa harapannya. Tiga pertanyaan sudah dilontarkan seperti kecepatan peluru roket yang membuat Piter K sibuk menjawabnya. Pertanyaan pertama dijawab dengan mudah, pertanyaan kedua dijawab dengan agak rumit dan pertanyaan ketiga dijawab to the point (polos) oleh Piter K.........."Tidak Ada Kiriman Uang".

Ok..ok...kawan, jangan marah. Saya hanya tidak percaya saja kalau pagi ini akan segra ada tragedi, kata Boyke.
Piter K hanya memiringkan kepalanya ke kiri pertanda tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Boyke. Dengan susah payah Boyke memikul sendiri bika sagu ukuran besar itu. Dimuat ke motor vespa tapi tidak bisa sehingga mengharuskan Boyke mengalihkan bika sagu itu di angkot.

Boyke pulang ke rumahnya dan menyuruh beberapa anak-anak untuk menjemput muatan bika sagu di pertigaan kampung, tempat biasa mobil angkot berputar kembali ke stasiun. Boyke sibuk merayu isterinya untuk memberikan harapan baru. Harapan yang tidak pernah habis. Seperti harapan dari kisah ini. 

Apakah yg penting dipelajari dari pengalaman pasutri ini?
Kearifan dalam menyikapi dinamika hidup.
Boyke sangat menghargai sebuah kepolosan.
Entah manis, atau pahit.@@@