Senin, 15 Februari 2010

GUMANSALANGI


Menurut cerita para orang tua Sangihe, pada tahun yang belum pasti sekitar 1300 Masehi di utara kepulauan Satal pada suatu tempat bernama Kotabato di pulau Mindanao terdapat seorang putra raja yang bertabiat buruk. Namanya Pangeran Gumansalangi. Karena kejahatannya, raja mengasingkannyai kedalam hutan. Di sana ia menyesali perbuatannya dan meraung-raung memohon pengampunan entah kepada siapa karena tak satupun manusia yang mendengarkannya. Raungan tangis Pangeran Gumansalangi terdengar oleh Raja Khayangan dan mendorongnya turun ke bumi melihat langsung keberadaan Pangeran Gumansalangi di tengah hutan belantara menangisi dosa seorang diri.

Raja Khayangan kemudian kembali ke negerinya dan menanyakan kesediaan putri-putrinya untuk pergi ke bumi menemui Pangeran Gumansalangi dan segenap pergumulannya. Putri bungsu menerima tawaran raja khayangan sedangkan kakak-kakaknya menolak. Berangkatlah si bungsu ke bumi dengan menyamar sebagai perempuan berpenyakit framboesia akut. Bau penyakit yang sangat busuk itu membuat penasaran Pangeran Gumansalangi sehingga dicarinya asal bau itu. Ditemukan di suatu tempat seorang perempuan yang sekarat. Pangeran Gumansalangi mendekati perempuan itu dan tidak sedikitpun merasa jijik. Lantas diajaknya perempuan itu untuk menginap di gubuknya.

Setelah tinggal beberapa hari lamanya, perempuan itu menghilang. Ternyata ia kembali ke khayangan menemui ayahnya dan menyampaikan laporan perubahan sifat Pangeran Gumansalangi selama dalam masa penghukuman itu. Si putri bungsu itupun dipanggil ayahnya dan diberikan tugas untuk menjadi isteri Pangeran Gumansalangi selama hidupnya di bumi. Putri itu diberikan nama Putri Konda.

Turunlah kemudian si Putri Konda ke bumi dengan paras yang amat cantik dan bau harum semerbak untuk menunaikan tugasnya menjadi isteri Pangeran Gumansalangi. Di sekitar sebuah danau Putri Konda sedang mandi membersihkan dirinya. Mencium bau harum yang semerbak itu, Pangeran Gumansalangi menelusuri asal muasalnya. Ketika dilihatnya Putri Konda sedang mandi, maka Pangeran Gumansalangi tidak sadarkan diri. Sang pangeran Kotabatu terjatuh pingsan menyaksikan keelokan Putri Konda.

Kemudian Putri Konda memetik kembang melati yang bertumbuh di belukar sebanyak tiga kuntum, lalu direndam kedalam air yang ada di telapak tangannya dan dipercikannya ke wajah Pangeran Gumansalangi. Seketika pangeran siuman. Lalu pangeran yang berubah sifat itu memohon maaf kepada Putri Konda yang telah merepotkan diri untuk membangunkan dia dari pingsannya. Putri Konda membalas dengan senyuman manis dan berkata sudah kewajibannya menolong pangeran Gumansalangi dan ditugaskan untuk menjadi isteri pangeran Gumansalangi. Berkatalah Putri Konda: "aku dikirim oleh raja Khayangan untuk membebaskan engkau, karena engkau telah berubah sifat dan menjadi orang yang baik. Kita tidak boleh tinggal di sini, melainkan harus mencari tempat lain yang nanti akan ditunjuk berdasarkan beberapa tanda. Hujan akan turun dengan amat deras, dibarengi kilat dan gemuruh petir dan kita akan tinggal di sana. Abangku, Pangeran Bawangung Lare akan menjelma menjadi naga yang akan terbang menelusuri setiap tempat yang hendak kita kunjungi".

Mendengarkan hal itu, sang pangeran langsung bersujud di bawah kaki Putri Konda dan berkata: "tak selayaknyalah hamba menjadi suami Putri Khayangan yang sangat elok parasnya, karena hamba hanyalah seorang pria bertabiat buruk". Putri Konda menjawab: "Raja Khayangan sudah menentukan saya untuk menjadi isterimu seumur hidup". Maka sejak saat itu merekapun resmi menjadi suami isteri.

Setelah itu terjadilah apa yang dikatakan oleh Putri Konda sewaktu pertemuan mereka di danau itu. Sebelum mereka berangkat, pertama-tama naga (Pangeran Banwangun Lare) dan kedua pasang suami isteri itu terbang mengelilingi langit Kotabato pada malam hari. Penduduk Kotabatu menjadi ribut dan gelisah karena mereka menyaksikan ada yang mengkilat di langit. Tua-tua di Kotabato menenangkan warga dan mengatakan bahwa yang mengkilat yang mereka lihat itu adalah seekor naga sakti yaitu kendaraan yang dipakai oleh raja-raja. Perkataan ini membuat penduduk tenang.

Kemudian ketiganya berangkat ke arah timur dan sampailah di sebuah pulau bernama Balut atau Marulung. Di tempat ini mereka tidak memperoleh tanda-tanda. Mereka meneruskan perjalanan dan tiba di Tagulandang dan tinggal untuk sementara disana. Kemudian mereka berjalan ke gunung Ruang, namun ketika mereka sampai di puncak Gunung Ruang mereka juga tidak menemukan tanda-tanda. Maka turunlah mereka ke Siau dan pergi ke gunung Tamata. Mereka tinggal di situ beberapa malam. Di sana juga mereka tidak mendapatkan tanda-tanda seperti yang dipesan oleh Raja Khayangan.

Lalu mereka pergi ke sebuah pulau yang lebih besar yang disebut Tampungang Lawo. Di sana mereka pergi ke gunung Sahendarumang. Sesampainya di puncak Sahendarumang mereka diliputi awan dan kabut yang kemudian berubah menjadi hujan deras. Kemudian kilat dan guntur menggeleggar memekakan telinga selama tiga malam lamanya. Dan satu-satunya yang dapat dilihat dari bawah adalah kilat. Bunyi guruh selalu kedengaran dari bawah. Setelah tiga hari mereka berkesimpulan bahwa disitulah tempat tinggal baru bagi mereka.

Kemudian mereka turun dan pergi ke arah timur Tampungang Lawo mengikuti aliran sungai Balau. Di sana mereka dielu-elukan oleh penduduk. Pangeran Gumansalangi dan Puteri Konda dimintakan duduk di lengan orang-orang lalu diusung dan diagungkan. Tempat itu diberi nama "Salurang" artinya "pengagungan". Oleh penduduk setempat, nama Pangeran Gumansalangi digantikan menjadi "Medelu" yang artinya "bagaikan guntur" dan Putri Konda dinamakan "Mekila" yang berarti "bagaikan kilat". Akhirnya mereka berdua diangkat menjadi raja di Kerajaan Tampungang Lawo (Sanger Besar) sebagai raja pertama Tabukan.

Pada masa tuanya Pangeran Gumansalangi kembali ke Kotabato dan mangkat disana. Sedangkan tampuk kekuasaan kerajaannya diserahkan kepada anaknya yang bernama Melintang Nusa. Melintang Nusa menikah dengan Putri Mindanao yang bernama Putri Hiabe anak perempuan dari Raja Tugise. Sedangkan adiknya bernama Meliku Nusa pergi ke selatan dan menetap di Bolaang Mongondow dan menikah dengan Putri Mongondow yang bernama Menong Sangiang. Dengan demikian Melintang Nusa menjadi raja Tabukan yang kedua setelah Gumansalangi (Medelu).

Pada masa tuanya Melintang Nusa kembali ke Mindanao dan menghembuskan nafas terakhir di sana. Ia digantikan oleh putranya Bulegalangi. Anak-anak Melintang Nusa yang lain tersebar ke seluruh Sangir. Anak perempuannya bernama Siti Bai menjadi isteri Balang Naung, Aholiba menikah dengan Mengkang Nusa dan hidup di Tariang Lama. Putranya Pahawongseke tinggal di Sahabe yang sekarang ini menjadi Soa Tebe. Di sana ia membangun pemerintahan sendiri dibantu anaknya Makalupa, Ansiga dan Tangkuliwutang. Mereka semuanya menjadi pendekar Salurang yang gagah berani. Ia juga mempunyai putri bernama Tolongkati yang sangat berani sehingga dijuluki "Bawu Mahaeng" atau perempuan ringan. Putra dari Tangkuliwutang bernama Makaampo yang kemudian menjadi pejuang Sangir yang gagah berani yang berhasil mempersatukan Sahabe dan Salurang.

Sedangkan Pangeran Bawangun Lare (menjelma Naga) dikisahkan melanjutkan perjalanannya ke timur hingga ke Talaud dan membangun rumahnya di Porodisa di pulau Kabaruan dan naik ke puncak gunung Taiang. Di sini Pangeran Bawangun Lare menikah dengan Bokimawira, sehingga tidak heran di suatu tempat di pulau ini mereka menamakan Pangerang karena disini masih terdapat bekas ular naga yang menjalar yaitu tempat dimana Pangeran Bawangun Lare menjelmakan dirinya.

Jumat, 12 Februari 2010

MOKODALUDU


Cerita ini terjadi kira-kira tahun tahun 1000 (Masehi). Di sebuah teluk di Molibagu wilayah Bolaang Mongondow terdapat sebuah kerajaan yang diperintah oleh raja Budulangi dan permaisurinya Putri Ting yang dikaruniai seorang putri bernama Toumatiti. Marga mereka adalah Bowontehu. Toumatiti, walaupun seorang putri raja tetapi ia gemar mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti mencari kayu bakar dan lain-lain.

Suatu saat seperti biasanya Toumatiti mencari kayu bakar ke hutan. Ketika ia sedang beristirahat, tiba-tiba terdengar suara merdu seekor burung memanggilnya dari pucuk pohon Lampawanua. Didorong oleh rasa ingin tahu siapakah pemilik suara itu, putri mengambil sepotong kayu lantas memukul pangkal pohon itu dengan harapan burung itu terbang, sehingga ia dapat melihat burung itu lebih baik. Namun si burung tidak juga terbang, mala bertanya: "siapa yang memukul pangkal Lampawanua ini?". Toumatiti berkata, "tolong beritahu nama Anda yang berbicara dari atas pohon ini." Sang burungpun menjawab, "Bertanyalah kepada orang yang tepat, yang berasal dari marga lain." Taumatiti penasaran ingin melihat siapa pemilik suara itu.

Kemudian burung itu memanggilnya naik hingga ke pucuk Lampawanua. Sesampainya di pucuk Lampawanua, si burung sudah pergi, yang ditemukan Toumatiti hanyalah sebutir telur putih licin. Diambilnya telur itu dan dibawa pulang ke istana. Berkatalah Budulangi ayah Toumatiti, "telur ini adalah telur pembawa keberuntungan bagi seluruh rakyat Bowontehu, oleh sebab itu simpanlah dengan baik." Dalam sekejap telur itu bertambah besar. Melihat keanehan itu, raja Budulangi mengumpulkan rakyatnya untuk mengadakan upacara. Mereka berdoa dan memohon berkat Tuhan agar telur ajaib itu benar-benar membawa keberuntungan. Telur itu kemudian berhenti membesar dan mereka berhenti mengadakan upacara. Berkatalah raja: "buatlah tempat khusus bagi telur ini, berhati-hati dan teliti meletakkannya karena telur ini bukan telur biasa".

Toumatiti keletihan dan beristirahat tidur. Dalam tidurnya ia bermimpi melihat seorang pangeran mendekat dan tidur bersamanya. Kunjungan sang pangeran sering terjadi lewat mimpi sehingga si putri itu akhirnya hamil. Toumatiti melahirkan seorang putra yang dinamakan Mokodaludu yang berarti "pangeran dari khayangan". Mokodaludu bertumbuh menjadi pria dewasa dan menikahi Putri Baunia. Putri Baunia ditemukan oleh sepasang suami-isteri petani bernama Sanaria dan Amaria dari sebuah bambu kuning yang tipis.

Setelah Raja Budulangi mangkat, kerajaan Bowontehu dipimpin oleh Mokodaludu. Mokodaludu menginginkan keadaan yang selalu damai dan menghindari perang yang saat itu sering terjadi antara kerajaan-kerajaan sekitarnya. Mokodaludu memutuskan untuk pindah ke sebuah tempat bernama Pasolo di arah timur Bowontehu. Persisnya di pulau Lembe di tempat yang dinamakan Baling-baling sebelah timur Malesung (Minahasa). Di Baling-baling, Mokodaludu dan rakyatnya diserang oleh orang Mori yang berasal dari teluk Tomini dan juga dari Daloda, sehingga rakyatnya terpaksa mengungsi ke arah tengah Malesung untuk mencari tempat yang baru. Mereka menempuh perjalanan naik turun gunung dan berliku mirip gelang. Oleh Mokodaludu, tempat itu disebut "Lokon" atau "Belitan" yang letaknya di samping Tomohon.

Selama menetap di kaki gunung Lokon Mokodaludu dan isterinya memperoleh seorang putra yang dinamakan Lokongbanua. Mereka tidak lama menetap di kaki Lokon. Mokodaludu kembali mengadakan migrasi ke pesisir pantai. Mereka mendapati sebuah pulau yang disebutnya Bentenang karena serupa Pasang Bentenang artinya "tempat berangkatnya perahu-perahu".
Beberapa waktu kemudian mereka berpindah lagi sampai akhirnya menetap di pulau Manaro (sekarang disebut Manado Tua). Selama Mokodaludu menetap di pulau Manaro, ia dikaruniai tiga orang anak, yaitu putra keduanya bernama Jayubangkai, sedangkan anak ketiga dan keempat adalah putri-putri yang diberikan nama Urinsangian dan Sinangiang. Dengan demikian Mokodaludu dan Putri Baunia memiliki dua pasang anak.

Suatu saat, Mokodaludu memintakan rakyat membuat sebuah bininta (kapal kecil) untuk keperluan keluarga kerajaan. Bininta itu kemudian diuji kemampuan melaut, mengapung, kecepatan berlayar dan disaat didayung (memolase). Dalam masa ujicoba kendaraan ini, Lokongbanua, Uringsangiang dan Sinangiang ikut serta. Yang menjadi kapten kapal bininta adalah Manganguwi sedangkan jurumudinya adalah Batahalawo. Isteri dari Kapten Manganguwi bernama Bikibiki juga ikut selaku jurumasak. Orang lain yang turut dalam "pemolaseng bininta" itu adalah dua orang biduan, yang bernama Banea dan Tungkela.

Sebelum berangkat, Raja Mokodaludu memperingatkan ketiga anaknya agar tidak mengucapkan sepatakatapun disaat mereka sedang di laut dan melihat keganjilan-keganjilan tidak biasa, maupun melihat pulau-pulau. Namun kedua puteri raja itu lupah pesan ayah mereka dan ketika melihat pulau spontan mereka bertanya: "pulau apa itu?". Tiba-tiba bertiuplah angin kencang yang menyeret bininta hingga terdampar di sebuah pulau dan bininta mereka kandas (taghuwala nawalandang) di tempat yang mereka namakan Buhiase. Setelah lolos dari kandas itu, mereka kemudian berniat kembali ke Manaro. Tetapi angin semakin kencang dan kembali menyeret mereka lebih jauh hingga terdampar di sebuah tanjung kecil. Mereka membuka perbekalan di sana yaitu "empihise" (ketupat). Pulau itu dinamakan "empihise". Kemudian mereka melanjutkan lagi pelayaran menyusuri pantai untuk mencari tambahan perbekalan hingga tiba di "Siawu" atau "Silawu" yaitu mereka menemukan sejenis ubi jalar liar. Tempat ini diberikan nama Siawu yang selanjutnya disebut Siau. Mereka juga mencari sumber air dan menemukannya di Bangkasia, yaitu tempat yang konon merupakan tempat mandi sembilan bidadari dan tempat bagi Sensemadunde menemukan jodohnya.

Kedua putri raja ini tidak mau menetap di Siawu. Mereka merengek-rengek pada kakaknya Lokongbanua untuk kembali ke negeri bapaknya. Tetapi angin terus mengantar bininta mereka menuju utara dan tiba di sebuah daratan besar. Kedua putri itu hanya bisa menangis tak henti-hentinya, sehingga pulau itu dinamakan Sangi. Kemudian lama kelamaan dinamakan Sangir. (Diringkas dari cerita Haremson E. Juda dalam Manga Wekeng Asal'u Tau Sangihe, 1995:59-66)

Sabtu, 06 Februari 2010

TOLOL STRUKTURAL


Sebuah peribahasa Manado mengatakan: "so biongo, belbak lei". Yap Tambayong (2009) mengartikan maksudnya sebagai ketololan struktural. Apa yang dimaksud Yap dengan Ketololan Struktural itu...???
Tentu kata 'tolol' adalah perbuatan yang bodoh terjadi berulang-ulang atau kesalahan yang bersifat ajek. Keajekannya itu bisa beraturan, bisa juga tidak. Kata struktural sendiri merujuk pada pengertian susunan atau keteraturan atau organisasi.

Sebelum lanjut, saya pikir penting sekali kita memahami makna kalimat ini dengan seksama agar tidak salah menempatkannya dalam topik-topik diskusi, seminar dan kegiatan ilmiah lainnya sejenis. Maka untuk memahaminya dengan mudah, ikuti kisah berikut ini:

Momentum Natalan 2009 lalu, Udin tetanggaku turut meramaikan malam natal sejak semalam kemarin sampe malam berikutnya dengan cara keliru. Dia mabuk sepanjang 2 malam lantaran penatua tak sempat nongol pelesiran ke rumahnya, padahal hampir tiap malam penatua bermain catur dengan Udin. Subuh itu pukul 5, ketika lonceng ibadah natal subuh mendentam, semua tetangga bangun bukan karena dentuman lonceng, tapi karena kaget dengan "bakuku". Udin mengganti peranan ayam jantan. Maklum Udin berniat memperdengarkan kejantanannya..?? kata Papa Julio tetanggaku juga.

Lantas Udin pergi membeli petasan segitiga semacam mercon dengan hulu ledak yg cukup besar, di sebuah warung terdekat. Turut pula dibelikannya sebatang rokok. Sebenarnya Udin bukan perokok profesional. Sesaat kemudian masih sekitar lima meter dari pintu warung, Udin memantik rokoknya, diikuti dengan menyalakan petasan segitiga. Dalam waktu segera, rokok dilempar ke tanah dan petasan dihisap bak menghisap rokok. Walahualam, dalam hitungan detik mulut Udin dipenuhi asap, teriakkannya lebih kuat dari bunyi ledakan segitiga, memekak telinga pendengar berita pagi di saluran radio RRI. Semua yg tidur pulas pagi itu sontak kaget dan bergerak ke arah ledakan maut itu. Yang ditemukan disana hanyalah derita Udin. Semua orang yang penasaran jadi berempati atas nasib sial yang dialaminya.

Hanya satu orang yang nampak melompat kegirangan atas peristiwa naas itu. Siapa dia? Orang terdekat Udin; Isterinya. Mia isteri Udin yang dikenal setia selama menjadi pendamping hidup Udin itu, melompat kegirangan sambil berkata: "syukur, syukur, syukur, bersyukur kita....." Kata "syukur" itu berkali-kali meletup dari mulut Mia. Beberapa orang sempat berbisik-bisik dan bedecak heran: "so gila barangkali si isteri Udin"....Kenapa dia bersyukur sementara suaminya merintih kesakitan karena seluruh giginya menjadi abu.

Tanpa sengaja tangan kiriku menyambar jidat perempuan yang tengah bersyukur itu sehingga membuat dia seperti terbangun dari mimpi buruk dan menyadari keadaan sambil meminta maaf.
Maaf pak, saya bersyukur atas peristiwa ini karena ada yang memang harus aku syukuri.
Apa itu Mia? tanyaku.
Sambil berbisik Mia mendekat
ke samping telingaku dan berkata: Selama ini pak, Udin itu....
sebelum melakukan hubungan intim suami isteri
dia lebih dahulu melumat telinga kananku
hingga aku kesakitan
karena gigitan tajam gigi serinya
membuat telinga kanan ini semakin hari kian mengecil.

Astagaaaaa Mia, kataku spontan.
Kenapa begitu....??? tanyaku penasaran.
Nda tahu juga pak, makanya saya bersyukur, berulang kali sejak tadi, tambah Mia lebih meyakinkan aku.
seakan-akan Mia tak mau peduli.
Kataku: Sudah kau tegur dia...???
Berkali-kali pak, bahkan sudah aku ancam cerai...Tapi dia tak mau berubah,.... jelas Mia.

Mia segra kau urus suamimu dan bawa ke Puskesmas terdekat, kataku memotong penjelasan Mia.
Dan Mia pun menurut karena memang dia mencintai suaminya dengan segenap hati.

Nah,
Yang saya pahami makna kata "ketololan struktural" adalah seperti yang dilakukan Udin terhadap Penatua dan Isterinya. Yang membuahkan petaka dari perbuatan bodohnya sendiri. Implikasi akhirnya adalah kualat. Demikian melekat kebodohan itu dalam diri seseorang, tidak pernah memikirkan kepentingan orang lain dan selalu mengikuti kehendak diri (ego) secara berlebihan kemudian tanpa sadar akhirnya menggiring pada tingkalaku dominan dan tidak pernah memahami bahwa dia telah melakukan serangkaian kebodohan yang telah melekat lama dalam dirinya.

Semoga pada tahun 2010 ini.....kita segera menghentikan semua upaya
yang akumulatif dan berimplikasi pada terbentuknya perilaku "tolol struktural".
Lebih berbahaya lagi jika ketololan yang struktural itu kemudian menjadi fungsional dan terus menerus dipertahankan dalam kehidupan manusia. Akibatnya pastilah fatal.

Udin...udin...nasibmu kini......
Tabahlah melewati 2010 ini
Nanti juga akan terbiasa
hidup tanpa gigi.
Bukankah....
Lebih baik sakit gigi
daripada sakit hati...???

ELA PUTUNG SU KOTO IRUNG

Su tempong ia bedang kedio, kehage kami pira tahasinggaweng ko mengowe puru.
Sumebang sikola i kami taha pu singgaweng, I kami telu…ia, Jengise dingang Masmare.
I yanu dukinisego pengingsuenge i, iyanuko malinti pung apa kakanoa dingang u kukoatenge. Ia ho taumata ko malongge kumanoa. Mauli su kilolone. Arako i jengise ho,….Taumata ma’akale kahengang, mauli tetinggung lumoho bou mohonge…
kamageng mutetinggung dingange…. Ia tala makaroka anu….

Su walene, jengise kekuing manga bawinene ko i “raja” … mangalene ko musesihing areng i raja su sina su tempong tamai-tamai naliu, I Jengis Khan…. Tau Mongole.
Ho i kebe: “Jengise tau Laghaeng” wue…. Yanu e ko pia ela putung su irung simbeka kuihi… elane e tala maligha mate… mageng ni pateng dingang u bulaeng, ketewe mapepa wulaeng. Elane mang mai’nee. …..takoa enso’e…. ho i pikire Jengise…. Mesau i pengobote si sia: seng kukadione elane.!!!!

Su dalung naungku…. Takoae sarang sisenti elane naenso bou apang sara su irunge…
Ia ketang nakasilo u tingumbasenge seng su koto irung…. Baline gampang kung’ku yanu ringang simbau i. Orase i…. Jengise, raja su Laghaeng seng nikawing dingang muhala bou Batusenggo…. Kampong simbeka lenae dusung bou Laghaeng. Seng kerei karengue i raja deduang’i datu bedang ta’nakarea hentong…. Takoae punempu teronang dedua…
I kami kebi lawo kapungampale dingang kasasabare, dingang u mauli kaliomaneng si Tataghuang tadea’e gaweku simbau e…. makarea ana’e, makarea pangeran su kedatuan e sisane…. Su wanuaku Laghaeng.>>>

ALAMINA

Kamageng anau simbau mapulu munderingihe beke moyang i kite ko i sai, ia seng mubeke ke wue.

I kite ko pia tatelu bangsa:

1) Bangsa Angsuang (berperawakan tinggi dan besar-raksasa);
2) Bangsa apapuhang: manusia kerdil (mahluk mistik);
3) Bangsa Ampuang, manusia biasa kere kite.

Ia mubeke keturunan simbotongange bou behi Ampuang (keturunan rakyat jelata). Pia "mite purba" simbotongang e, niteta bou kira2 tahun 1500 SM. Banua kite bawa su Sangihe (SaTaS) beline we kere orase i gahie. Lena horo ko bedang simbau dingang u banua simbeka nusasempu u Philipina. Areng banua e ko ALAMINA. Niteta bou Mangindao, Bacan dingang SaTaS (orase i) simbau pulo nisego Alamina.

Pia singketau taumata labo pake'e; arenge Ampuang Tatetu ni sego si Kulano (pemimpin spiritual) nipangimaneng taumata orase e, sie ko wakile Aditinggi (dewa), sie katanae su wowong Awu Karangetang. I sie e singkateta u taumata tau Sangihe.

Sareta taumata seng mauli, tala mutatuhu NARANG (hukum tertinggi) Aditinggi, i Ampuang Tatetu nutahawera titane, nupakalemise dalohong u Alamina.Nariadie kere bawerane: Alamina nukekaese nakoa kepulauan Sangihe, Talaud, Siau, dingang kebi nusa-nusa dedio.

LIAGHA A' HUNG

Beke tau Sangihe ko malahaghi, kebi pia gunane dang masidape pudaringihange. Bekeku i ko beke keruane dalohone u sejarah purba singkateta pudalahiking su banua batangeng. Bekeku keruane i, mutatentang dingang beke simbotongang e. Beke simbotongange nariadi abate 15 su likude taung masehi.Beke keruane i ho, nariadi su tempong damahi, kukudanine sarang taung masehi. Engkuing sengga wuade ko su tempong zaman Hindu. Manga su taung 1000 sarang 500 SM. Jadi ko nikahorokang u mite Ampuang Tatetu su wowong Karangetang niteta bou taung 1500 SM.

Dade su banua sina pia singketau bawine arenge Sang Iang. Wene ni sego kite tau sangihe orase i ndi: Sangiang. Sire taha'ana ditokole pasebang bou dalung kedatuan baugu nukakoa barang talanahino su naung kaisare. Sire taha'ana ni pesake rakite nikoateng bou bulucina wene pirua nionode sarang laude maloang. I timade Sang Iang talamasue sangi....elo matane mang katedone apang elo dingang lai apang hebi.

Wene i Dewi Sang Hiang Sie ko Dewi su Khayangan (tampa bidadari) kupengimaneng sire mesulung u Mawu, Sie kimendage nakaringihe sangi i Sang Iang. I Dewi nudoi singketau bidadari areng'e A-Hung. Kamageng su pengimaneng tau Sangihe, areng i A Hung ni pesulung kere i Antung, Opung, Empung, mangalene ko Dewi Laut. Empung arau i A Hung sie botonge makakoa liaghane koateng pulau simbau tadeae i Sang Iang sire taha'ana makasangkile su pulau nikoateng i A Huang.

Kute piruanga tala narena kedio, lua labo nundusa pulo ko nikoateng i A Huang e. Pulo simbau e nukekaese nakoa mauli. Jadi apang komolang pulau e nisego sire: Sangi...mangalene ko tangis. Kute ko pia lai nubera wuade areng Sangi ndi ko nialakeng bou areng burung Sanumpito. Bahasa sina burung e ko Sang Hen.....Ore kere bekene>>>terimakase.