Sabtu, 10 November 2012

HENGKENG U NAUNG


Hengkeng U Naung memiliki perlengkapan senjata Tombak Trisula (Alabadiri) dan sebuah Pedang Bara. Ketika hendak berperang, ia mengenakan zirah yang dipintalnya sendiri dari batang sakede.

Jumat, 09 November 2012

PAHLAWAN HENGKENG U NAUNG

Hengkeng U Naung, pahlawan dari Timeno Kiawang Siau lahir tahun 1590. Sejak kecil giat melatih dirinya dengan keahlian bergulat dan tangkas bermain pedang bara pada usia belasan tahun. Di umur 20 tahun berjumpa D'Arras jogugu Ondong menjadi salah satu tentara ahli dalam bidang kelautan.

Tindakan patriotik dilakukan pertama kali setelah dirinya berhasil mendamaikan Maho

nis (Jogugu Ulu) dengan D'Arras (Jogugu Ondong), sehingga Datu Winsulangi mengangkat Hengkeng U Naung menjadi Kontraktor Proyek Pembangunan Armada Angkatan Laut pada tahun 1612. Proyek tersebut tuntas dilaksanakan. Hengkeng menciptakan Jubah Sakti dari Benang Sakede yang tak bisa ditembusi parang bara dan tombak.

Hengkeng U Naung diminta jasanya untuk memberantas tindakan teror Makaampo dan berhasil mengamankan Tampungang Lawo (Sangihe). Setelah itu dirinya beradu kesaktian dengan seorang pahlawan Dagho, Ansuang Killa. Pertempuran keduanya berimbang dan berakhir dengan genjatan senjata karena tidak ada pihak yang kalah.

Dirinya bersua dengan gadis pemain musik Olri di Mahangetang dan menjadi partner hidup sekaligus mitra berperang melawan teroris Onding yang meneror kehidupan rakyat Makalehi. Dengan senandung Sasambo dan alunan musik Olri isterinya, Hengkeng U Naung berhasil mengamankan rakyat Makalehi dari teror Onding.

Pada tahun 1621 Hengkeng U Naung berhasil mengamankan Kabaruan dari kemelut dan gejolak perang saudara di kawasan Porodisa sehingga Kabaruan menjadi daerah kekuasaan Siau. Sikap patriotismenya terus bertumbuh-kembang, membela kaum lemah dan mengejar para Perompak Mangindano ke selatan yang hendak meneror kehidupan warga Minahasa yang kaya raya dengan beras. Usaha perompak merampas beras Minahasa dapat dihalau oleh Sekutu Pasukan Para Walak Minahasa dan Pasukan Kora-Kora Hengkeng U Naung pada Pertempuran Kasuang tahun 1640. Itulah ekspedisi perdana seorang pahlawan yang berjuluk Bawata Nusa ini.

Hengkeng U Naung, atas perintah Raja Batahi melakukan ekspedisi kedua ke selatan untuk tujuan mengejar dan menaklukan semua bentuk kejahatan. Beberapa kerajaan lokal yang berkarakter keras dan menyengsarakan rakyatnya sendiri turut diberi pelajaran. Semisal Raja Makaaloh di Talawaan berhasil ditaklukan pada tahun 1642 dan Angkoka, Raja Singkil yang berhasil ditundukkan pada tahun berikutnya.

Armada Angkatan Perang Kora-Kora dan Bininta Hengkeng U Naung tiba di Leok Buol pada tahun 1645, berhasil menghalau Angkatan Laut Kerajaan Gowa yang hendak menaklukan kawasan Utara Pulau Sulawesi (Sulawesi Utara). Angkatan Laut Kerajaan Gowa hancur lebur di pantai laut Leok Buol. Kerajaan Gowa kemudian meminta kerjasama Pasukan Hengkeng U Naung untuk berperang melawan Kerajaan Bone pimpinan Arung Palakka yang dibawa pengaruh Belanda. Arung Palakka melarikan diri ke Batavia seraya meminta bantuan Belanda sebelum meletusnya Perang Makasar antara Gowa dan Bone pada tahun 1666.

Pada tahun yang sama (1666), Pasukan Kora-Kora pimpinan Hengkeng U Naung sudah kembali ke pangkalan Angkatan Laut di Kedatuan Siau karena mendapat kabar bahwa penghuni Benteng Kastila (Tentara Portugis) sedang melakukan tindakan teror pada penduduk Siau. Ancaman Dalam Negeri ini lantas diberangus oleh Laskar Hengkeng U Naung sampai penduduk kembali hidup merdeka.

Pada usia yang tua (80 tahun) yaitu pada tahun 1668, Hengkeng U Naung meninggal dunia dengan damai dan dimakamkan oleh keluarganya di tempat yang diamanatkannya, Timeno Kiawang.

Sungguh sebuah aksi yang berakhir Malunsemahe untuk Sulawesi Utara dalam KeIndonesiaan Hengkeng U Naung.

Jumat, 14 September 2012

TRILOGI CANGKE (Permainan Berkelompok Anak-Anak Siau)


Saya masih ingat persis cara bermain cangke. Cangke adalah permainan anak-anak di pulau Siau yang menggunakan dua potong kayu. Kayu yang digunakan pada umumnya belahan bambu. Tetapi bisa juga menggunakan kayu yang lebih keras dan berbentuk bulat memanjang. Potongan kayu yang digunakan sebagai pemukul, ukurannya lebih panjang. Biasanya 60 cm sampai 70 cm. Sementara kayu yang lebih pendek ukurannya hanya sekitar 20 cm saja. Kayu pendek itu menjadi rebutan dalam permainan cangke.

Cangke dimainkan oleh dua orang atau lebih secara kelompok berpasangan. Tetapi sangat jarang dimainkan oleh lebih dari 3 pasang atau 6 orang pada ruang yang relatf sempit. Sebelum permainan dimulai, pemain terlebih dahulu menggali lubang berbentuk lonjong yang ujung depannya dibuat lancip. Pasangan yang akan bermain terlebih dahulu melakukan suten jari tangan, sebagai pembuka sekaligus penentuan siapa atau kelompok mana yang akan menjadi pemukul dan penangkap kayu pendek. Aturannya, pemenang suten bertindak sebagai pemain yang memainkan permainannya di lubang dan yang kalah dalam tahapan suten menjadi penangkap kayu pendek. Pihak yang kalah suten ini berdiri berjejer pada jarak kurang lebih 5 hingga 15 meter di depan lubang.

Ada tiga tahapan (stage) yang harus dilakukan oleh pihak-pihak yang bermain di lubang, yaitu:
  1. Stage Soi. Tahap soi ini adalah tahapan paling mudah dikerjakan oleh kedua tim. Salah satu dari anggota kelompok pemukul melakukan tahap soi dengan cara meletakkan kayu pendek melintang di atas lubang lalu kayu pemukul dimasukan kedalam lubang persis menyalib kayu pendek kemudian diangkat sekuat-kuatnya kedepan atau dapat diangkat perlahan sesuai dengan posisi kelompok lawan main yang berjejer di depan. Strategi orang yang melakukan soi pada umumnya memilih celah tempat dimana tidak ada orang berdiri sehingga kayu pendek itu tidak bisa ditangkap oleh kelompok lawan. Bilamana salah seorang dari kelompok lawan berhasil menangkap kayu pendek yang sedang melayang di udara dengan sebelah tangan, maka hitungan pointnya adalah 100 dan kelompok pemukul dinyatakan kalah. Permainan dimenangkan oleh kelompok penangkap. Kompensasinya adalah pasangan dari anggota kelompok yang kalah harus bersedia menggendong pasangannya sampai pada titik terjauh dari kayu pendek yang akan dipukul oleh kelompok penangkap selaku pemenang permainan. Akan tetapi, jika ternyata kelompok penangkap berhasil menangkap kayu kecil dengan dua tangan, maka point yang diperoleh adalah 50. Kelompok penangkap harus menambah pointnya pada kesempatan menangkap di tahap kedua dan atau tahap ketiga. Tetapi jika kelompok penangkap gagal menangkap kayu kecil pada tahap soi ini, itu artinya kesempatan bagi kelompok pemukul untuk melanjutkan tahapan kedua.     
  2. Stage Pepele. Tahap ini permainan mulai menantang. Ada tiga cara memukul; cara pertama yang biasanya diterapkan oleh pemain yang berjenis kelamin perempuan, yaitu, memposisikan kayu kecil dipegang oleh tangan kiri (bagi yg bukan kidal) atau kanan (bagi yg kidal) pada posisi kayu kecil terletak horisontal, lalu dipukul dari arah bawah seperti sedang melakukan service pada permainan badminton. Cara kedua agak sedikit menakuti lawan main, yaitu dengan meletakkan kayu kecil pada posisi vertikal sehingga hasil pukulannyapun cukup keras. Bagi kelompok penangkap yang berdiri pada jarak dekat dengan pemukul, biasanya tidak berani menangkap pukulan bentuk kedua ini dan berusaha menghindar dari arah yang disasar pemukul. Cara ketiga, adalah cara paling keras, yaitu melempar kayu pendek ke udara lantas dipukul dengan kuat sehingga semua anggota kelompok penangkap baik yang di depan maupun yang di belakang pada jarak terjauhpun tidak berani menangkap kayu yang melayang dari pukulan ketiga ini karena tekanannya sangat kuat. Sangat beruntung bagi kelompok penangkap apabila mereka berhasil menangkap kayu pendek yang dimainkan oleh kelompok pemukul pada tahapan pepele ini. 
  3. Stage Cangke. Tahap cangke merupakan tahap puncak sekaligus misi penutup bagi kelompok pemukul. Stage ketiga ini paling menegangkan. Jarang sekali ada kelompok pemukul yang mampu memainkan stage ini dengan sangat sempurna. Tingkat kesulitannya amat tinggi. Ini merupakan kombinasi antara stage 1 dan 2. Kayu kecil diletakkan pada bagian ujung lubang yang lancip dengan posisi kayu pendek mengikuti bentuk lancip dan setengah berdiri. Ujung kayu kecil itu harus lebih menjorok keluar lubang kira-kira 3 cm sampai 6 cm. Posisi memukul dari samping lubang. Bagian yang akan dipukul adalah ujung kayu kecil yang menjorok keluar itu, dengan cukup tenaga dan perasaan, sehingga kayu kecil akan melenting ke atas udara setinggi pandangan pemukul, kemudian pemukul wajib memukul pendek perlahan untuk satu kelipatan 5 poin. Kayu kecil itu makin kuat dipukul makin cepat melesat geraknya kedepan ke arah lawan sehingga memungkinkan lawan untuk menangkap (itupun jika lawan berani menangkap), tetapi jika tidak, maka peluang pemukul semakin besar untuk menambah kelipatan 5 pada pukulan kedua dan seterusnya. Pukulan pemukul pada stage 3 ini disebut pukulan cangke. Bila pemukul berhasil memukul sampai 2 kali, dan pada pukulan ke 2 kayu pendek sudah jatuh ke tanah pada jarak yang dekat dengan posisi lubang, selanjutnya akan dihitung kumpulan poin dari tim pemukul dimulai dari angka 10. Cara menghitungnya dilakukan dengan meletakan kayu panjang pada posisi jatuh kayu pendek ke arah yang simetris dengan posisi mulut lubang. Jika jumlah hitungan mencapai angka 100, artinya kelompok pemukul berhasil memenangkan permainan. Kompensasinya adalah digendong oleh kelompok penangkap yang kalah itu. Tetapi lain halnya ketika pada stage 3 ini, ternyata kelompok penangkap berhasil menangkap pukulan cangke yang amat berbahaya itu dengan satu tangan, maka kelompok pemukul harus mengakui kekalahannya.    
Permainan ini tidak diketahui persis kapan mulai ditemukan. Tetapi saya tahu persis bahwa di kampungku Laghaeng, generasi terakhir yang memainkan permainan cangke adalah generasi saya. Kami bermain sekitar kurun tahun 80-an. Sejak saat itu beberapa orang tua menganjurkan pelarangan terhadap anak-anak mereka untuk tidak melestarikan permainan ini karena terlampau berbahaya. Sayang sekali, seharusnya kita memodifikasi permainan ini dengan menggunakan alat bantu yang dapat digunakan sebagai pelindung. Bagi saya, permainan ini penting dilestarikan karena terkait dengan pembentukan karakter saya sebagai pribadi orang Siau yang malunsemahe.

Rabu, 12 September 2012

Peta Pergerakan Penduduk di Sulawesi Tahun 1880 - 1942.


Bolaang Mongondow merupakan daerah yang pergerakan penduduknya paling lembam di banding dengan Sangir-Talaud, Minahasa dan Gorontalo. Pergerakan penduduk ini mempengeruhi mentalitas sebuah lingkaran budaya.
 
 Sumber: A.J. Gooszen, "Een demografisch mozaiek, IndonesiĆ« 1880-1942" [1994]

Selasa, 11 September 2012

BAHA VS PUMPENUNG




Monyet dan kura-kura berkawan baik. Monyet menetap di atas pohon "Dingkalreng" di tepi pantai, tempat kura-kura mandi. Monyet banyak akalnya, tetapi bertingkah buruk pada sahabatnya. Si kura-kura sosok yang halus berperangai senang. Dermawan memberi bagiannya kepada setiap sahabat. Tidak memilih dalam berteman. Kura-kura saat itu masih dilarang hidup di daratan. harus hidup di dalam air. Karena dilarang oleh monyet. Kura-kura teliti meski perlahan gerakannya jika di daratan, tetapi sangat cepat bergerak kalau bertanding dalam air. Juga kura-kura rajin bekerja. Monyet malas, suka tidur di atas pohon, meskipun angin barat bertiup kencang, ia tetap tidur. Jika ditiup angin selatan, barulah monyet dapat jatuh dari atas pohon. Di waktu itu, pantat monyet masih berwarna hitam seperti kulitnya..... Hahahahaha.  

Pada suatu hari, monyet turun dari atas pohon dingkalreng di tepi pantai. Monyet mengajak si kura-kura menanam pisang. Kata monyet, marilah kita berdua bertanding menanam pisang. Jika engkau dapat menanam pisang yang berbuah baik, maka engkau boleh naik dan hidup di daratan, Jika tidak, maka engkau tetap hidup di air laut. Kura-kura mengiakannya. Baiklah sahabatku, kata kura-kura. Monyetpun membagi tempat untuk menanam pisang. Dia menyuruh si kura-kura menanam di bawah kaki bukit, tempat yang jauh dari tepi pantai, supaya dekat baginya memantau pertumbuhan pisang dari atas pohon dingkalreng. Jadi tidak ada satupun pohon pisang yg ditanam monyet bertumbuh. Di bawah kaki bukit, pohon pisang yang ditanam kura-kuralah yang subur pertumbuhannya, buahnya besar. Monyet melihat pohon pisang milik kura-kura bertumbuh bagus, maka senanglah hati monyet....:)

Sampailah waktu pisang sudah masak. Monyet pergi bertamu pada kura-kura. Monyet berkata, pisang yang kau tanam sudah masak dan barangkali akan didahului oleh kelelawar kalau tidak segera dipanen sekarang. Jadi, kita berdua harus segra panen sekarang. Jawab Kura-kura; hai monyet, apa maksud bicaramu? disana itu pisangku, bukan pisang yang kita berdua tanami bersama. Monyet tidak kehilangan akalnya, dirayunya kura-kura: pahamilah kawan, matahari sudah mulai terbenam, sesaat lagi kelelawar akan datang merampok buah pisang yang masak itu. Ayolah kita memanennya sekarang, aku akan naik, dan kau menunggu saja di bawa batangnya, aku akan memberikan bagianmu, bagian yang pertama adalah bagianmu.

Jadilah mereka berdua pergi ke kebun sore itu. Monyet yang lincah tiba-tiba sudah berada di atas pohon pisang. Apa yang terjadi? Monyet sudah memakan buah pisang sendiri. Makan sebuah, menambah sebuah, menamba dua. Habis buahnya. Kulitnya dibuang dihadapan sahabatnya, pemilik pohon pisang. Kekenyanglah si monyet rakus, sampai lupa diri kalau pisang itu bukan hasil jerih payahnya, meksipun dia yang mengajak kura-kura. Sampai buah pisang habis, si kura-kura setia menunggu di bawa pohon, menunggui bagiannya yang dijatuhkan monyet. Setiap yang jatuh adalah kulit pisang. Karena sudah merasa lapar, maka kura-kura membakar besi panjang sampai memerah. Ketika sudah merah, kura-kura mendekat ke batang pisang yang dinaiki monyet, sambil bertanya, mana bagianku monyet? Kekurangajaran si monyet, diberikanlah pantat hitamnya itu ke hadapan kura-kura. Pada saat yang sama, besi merah itu melesat masuk ke pantat monyet. Monyetpun jatuh, melompat tak karuan mencari air untuk menghilangkan panas karna nyala api. Tidak ditemukan tempat yang berair. Sejak saat itu, pantat monyet berubah menjadi merah, si kura-kura diperbolehkan hidup di daratan, mengganti namanya menjadi Pumpenung.

================================================

I baha dedua puikang ko gawe matedu. I baha ketanae su koto dingkalreng su wiwihe apeng tampa i puikang muliwua. I baha maulri akalre, kute lai matingkai si gawene. I puikang bue yanu komalrondo-londo naunge dingang malruase. Maeluge mugeli bageange su apang manga gawene. Tala mumile mugegawe. Puikang orase e bedang tewotonge mawi mubiahe su tanah, mambeng haruse pubiahe su ake. Baugu niseding i baha. Puikang mahirupe maning we malrongge kakanoae su wowong tanah, kute ko pung kasahawue kamageng mutetandung su dalrung sasi. Dingang lai puikang ko marajing muhalre. I baha ho lembie nalrema su koto kalu, maning tiukang u bahe, mang ketikie. Kamageng tiukang u timuhe, nau baha manawo bou koto kalu. Su tempong horo, bengkile baha ko maitung kere pisine..... Hahahahaha.

Pia sihelo i baha limintu bou koto kalu dingkalreng su wiwihe apeng. Baha nuhawu si puikang musuang busa. Engkung i baha, boete kedua mutetandung musuang busa. Kamageng kau makasuang busa mapia buane, i kau botonge mawi su dulunge, kamageng tala, i kau mambeng katana su laude. I puikang nepulu. Entae gawe, kuing i puikang. I baha nengare u tampa pusuangeng busa. Sie namarenta si puikang tadeae penuang busane pakarau dala su kele'u bulude, marau bou apeng. I baha baugu uage, nemile munuang busane su sebu lua su wiwihe apeng, tadeae marani tehungang bou koto dingkalreng. Nau ko takoae sarang simpung u benga busa timuwo bou sasuang i baha. Dala su keleu bulrude, kebi sasuang i puikang simahensong masidada tuwone, nubua delrelrabo buane. I baha nakasilo busa i puikang timuwo masidada, mangkete malruase naung i baha....:)

Nudatingke orase busa seng nasasa. I baha tanae nutingkasake sarang i puikang. I baha nuhabare si puikang, busa sesuange seng kahorokang paniki kamageng tala ligha i alrakeng orase ini. Nau mambeng haruse ligha pakaghising mehono bageang kedua. Engkuing i puikang, kate baha, ko dudato apa teghalre'u? Dala e ko sasuangku, beline sesuang kedua. I baha tala neilang akalre, nilokene i puikang, e kesingka ko kau, matangelo ne seng kasedae, kedio lainge paniki seng mengalra buang busa ko masasa e. Entake ligha tarai kedua. Hedo ia mungawi busa, kau pengampalre su laese, ia mulentu bageang'u. Nau bageang himotongange bageang'u.

Nataraike dedua bawelo e sarang u bele'e. I baha malrinti singkalrendi dingang su koto busa. Apa nariadi? i baha seng kepungintae sisane. Nenginta simbua, nenamba simbau, nusau simbua, nenamba derua. Nasue buane. Pisine nilentune su gawene, teghuang u laese busa. Nukalrianggang i baha, sarang talanakatahendung busa e ko belrine u saghede nusuang, maning be sie nuhawu si puikang. Nau sarang buang busa nasue, i puikang bawa kepungampale lentu e. Apang ko i lentukang baha ketang pisine. Baugu seng nahutung, i puikang sasae nungalra wase, nenutung wase manandu sarang nahamu. Pase ukure nahamu, i puikang tarai nutingkerani sarang laese busa ko niawikang i baha. I puikang mang kedoronge bageange. Sudewe bageangku wue baha? Karea tingkai i baha, nituadenge u bengkile maitung e si puikang. Pase-pase natuade, nehindo dingang u wase mahamu nisungki i puikang sarang bengkile i baha. Nau baha nanawo bu koto busa.I baha nuparadingki kadeae ake gunang mupakateno bengkile seng himena karea putung. Tala nakarea tampa pia ake e. Naneta bou e, bengkile baha nakoa mahamu, i puikang nakatana su dulrunge, nengganti arenge nakoa pumpenung.


BAHOA VS KOMANG


Pia sihebi su tempong bulrang limangu, Bahoa mudorong si komang mutetandung tumalrang. Tampa putetandungang dedua i teta bou apeng u Pehe, mahepuse su apeng u Tanaki.

Bahoa lehe'e manandu, temboe kadio, tatela'e mawenahe, nau masahawu tumedehe. Ho i komang pirua, pia piklurange mabeha, awae kadio, dumaleng ketewe humomang. Bedang i dorongang i bahoa mutentandung. I bahoa mesingka wadange makauntu baugu pia tatela'e. Kerene lai i komang, mesingka ko tala makaroka tatedehang i bahoa.


Ho pondolre dudato, i komang nengire: boete bahoa kedua mutetandung. Ketang i'dorongang si kau, apa bue eka'e kamageng ia makauntu? enkung i komang.

I bahoa nutaragegese lege.....
wuahahahahahaha..... lempang u lempang malrongge kere, ko ta'makalriu si sia. Mambeng ia mudating himotongange.

Naremase i komang.

Nasehu e dudato i Komang dedua Bahoa.
Manga ringang i komang nakaringihe dudato marehe dedua. Nakasilo obote i bahoa. Nau hebi e, apang komang seng ta'nutiki. Kebi lawo kadeae tampa gunang mukimbuni. Apang komang, nudelreantehe su lohang batu, su kanandu apeng Pehe sarang nudating apeng u Tanaki.

Sire ko pendang malrongko; nu'singkenaung.....
Sire ko pendang lome; nu'senggighilang....
Sire ko pendang simpoho; nu'pesesimbuawusa....

Medoka u obote
Medoka u umboge
Dingang u pudarame,
dingang u simpendang,
dingang u kapapande,
dingang u kasasana naung,
komang nasehu nutetandung.

Putetandungang seng ni teta.... bou apeng Pehe sarang nudating apeng Ondong, bou kinoang, i bahoa mang kepukuine si komang. Apang sie mukui, i komang su kihoroe sumimbahe.... I bahoa nubalrikekase mutingkahoro. Pelrinengke seng nudating apeng u Laghaeng, sau e bahoa seng salra lrupa nukibalo; Komang, seng suapa i kau? Engkung i komang, ndaong ia bahoa, ene su tengonu. I bahoa sau nenamba masahawu timela. Nudating ke sie su apeng u Mahuneni. Tatelae seng temang mapedi baugu napalriu masahawu menginsomahe anging.

Napelo su apeng Kapeta, i bahoa nate nalupa.
I komang seng tilahe narenta su apeng Tanaki dingang naung malruase.
Baugu sire nudalahiking sudalrung u pudarame. Kebiahe su dalrung u pendang Malunsemahe.

Selasa, 05 Juni 2012

SEJARAH MAKALEHI MAWELOGANG

Ketika itu Pulau Makalehi belum punya nama dan tidak berpenghuni, di sebuah lokasi di tepi pantai yang menghadap ke barat (sekarang disebut SOA), tumbuh sebatang pohon kenari (lehi) yang sangat besar dan tinggi. Penduduk Siau sering melaut mencari ikan ke pulau ini dan para nelayan Siau sering beristirahat di bawah pohon kenari itu. Tidak jarang banyak yang berusaha menebang pohon ini, namun aneh tidak bisa tumbang, setiap kali ditebang, luka bekas kapak pada pohon itu hilang tak membekas atau kembali seperti semula, namun nelayan Siau tidak putus asa. Mereka tetap berusaha untuk "makahaka lehi" (menumbangkan pohon kenari) sehingga setiap orang yang pergi ke pulau itu dengan tujuan menumbangkan pohon kenari itu selalu berkata "boete kite sesae makalehi (makahaka lehi)".

Akhirnya suatu saat pohon itupun tumbang dan orang-orang yang berhasil menumbangkannya disebut: Sire ko MAKALEHI yang berarti mereka yang berhasil menumbangkan pohon kenari. Demikianlah sampai saat ini pulau disebelah barat Siau ini disebut MAKALEHI, dengan nama sasahara MAWELOGANG yang berarti isi kenari yang tidak hancur saat ditumbuk atau dibelah, alias LEHI BELOGE atau LEHI WELOGE.

SEJARAH TATAHADENG

Tulisan ini dikutip dari catatan lepas Kepala Kelurahan Tatahadeng, Ifferson Kabuhung.

Konon pd zaman dahulu para leluhur masih menganut kepercayaan animisme yaitu menyembah para dewa dgn upacara ritual yg disebut PAKUNANG yaitu upacara penyembahan dgn mengorbankan seorang putri/dara remaja. Seiring dgn perkembangan zaman dan peradaban kebiasaan mengorbankan putri remaja diganti dgn menggunakan batang pohon pisang kemudian berkembang seterusnya diganti dgn Kue Tamo.

Pelaksanaan ritual adat tersebut sebelum mempersembahkan korban adlh diawali dgn ritual memberikan wewangian (bhs. Siau Melanise) terhadap korban dan upacara ritual ini dilaksanakan secara rutin baik itu dlm rangka menyembah dewa terlebih ketika dlm menghadapi masalah serangan dr pihak luar/musuh.

Konon pula daerah/tempat yg sekarang adlh Tatahadeng dahulu kala adlh hutan yg terbentang mulai dari pesisir pantai dan kira-kira thn 1500 M bangsa Philipina yg berasal dr Mindanao yg oleh penduduk pd waktu itu disebut Mangindano datang di daerah Sangihe Talaud sampai ke Siau, dimana mangindano ini datang merajalela merampok harta milik penduduk dan tidak segan-segan juga membunuh. Hal tsb membuat penduduk terutama yg berdiam di seputaran pesisir pantai tetap waspada menjaga kemungkinan dgn tekad apapun yg terjadi harus ditangkis/dilawan dgn tenaga dan daya.

Untuk lebih meyakinkan penduduk mengantisipasi serangan, para tua-tua atau pemimpin mengajak penduduk memohon ridho para dewa dgn mengadakan upacara ritual PAKUNANG sebagaimana disebut di bagian awal. Putri/dara remaja sebelum dikorbankan diawali dgn memberikan wewangian (MELANISE) dan lokasi atau tempat pelaksanaan ritual MELANISE disebut DALANISANG yg sekarang ini lokasinya berada di jalan belakang pertokoan (toko Abadi dll) serta kompleks SDN Tatehadeng, juga menjadi nama Lingkungan 1 (Dalanisang) Kelurahan Tatahadeng dan sering pula dipakai menjadi nama kesebelasan/klup sepakbola Kelurahan Tatahadeng. Lokasi ritual PAKUNANG ini karena berkembangnya penduduk dan peradaban sempat berpidah tempat ke Darunu/Kawolahe sekarang ini adlh Rt.01 Lingkungan V Hekang Kel.Tatahadeng. Sesudah ritual Melanise dilanjutkan dgn memotong korban, dan tempat pemotongan korban disebut "PANANEHADENG"

Konon pula pd waktu itu para tua-tua/pemimpin mendapat ilham dari para dewa dlm menghadapi/ menghalau musuh yaitu Mangindano, mereka mengatur barisan berjejer disepanjang tepian pantai dgn menyelipkan bunga/kembang cepatu (bhs.daerah Buhanga) berwarna merah tua dibokong/pantat dan ketika mereka melihat armada musuh sedang menuju teluk Ulu maka secara serentak mereka balik belakang dan bokong/pantat yg terselip kembang cepatu tersebut dipamerkan kpd musuh, ketika musuh melihat hal tsb melalui teropong mereka sangat ketakutan sekaligus putar haluan meninggalkan daerah sasaran kembali ke laut lepas dan mulai saat itu mangindano ini tdk pernah kembali lagi menjarah.

Seterusnya seiring dgn perjalanan waktu tmpt PANANEHADENG asal kata TEHADE oleh para tua-tua setempat diadopsi menjadi nama kampung yaitu TATEHADENG yg artinya "MEMBERIKAN KEPASTIAN YANG MEYAKINKAN". Dan seterusnya seiring dgn perubahan status dari Desa menjadi Kelurahan Nomenklatur berubah sedikit disesuaikan dgn SK Mendagri TATEHADENG menjadi TATAHADENG pengertiannya tetap tdk berubah dan menjadi nama Kelurahan sampai saat ini.
Dari thn 1910 - 1980 berstatus sebagai Desa/Kampung, sedangkan pengalihan status menjadi Kelurahan terjadi pd thn 1980 dimasa pemerintahan Bupati HADI SUTRISNO sampai sekarang.

Urutan Kades/Lurah sejak thn 1910 s/d sekarang :
  1. Frans Bartol Manalip 1910-1915
  2. Eduard Dauhan 1915-1926
  3. Jacobos Janis 1926-1930
  4. Samuel Kansil Salindeho 1930- 1942
  5. Philipus David 1942-1950
  6. Jacobus Sule Gonggalang 1950- 1972
  7. Alfonsius Salindeho 1972-1973
  8. Elias Laheba 1973-1980
  9. Karunya Loleng 1980-1986 Lurah.
  10. Elias Laheba 1986-1988 Lurah.
  11. Max Tantu 1988-2008 Lurah.
  12. Melva Hinondaleng,S.STP 2008- 2009 Lurah.
  13. Ifferson Kabuhung 2009 s/d sekarang. Lurah.

(dihimpun dr berbagai sumber, terutama para tua-tua adat di Kel. Tatahadeng)
Tdk menutup kemungkinan saran/masukan dr berbagai pihak yg tahu asal usul dr Kelurahan Tatahadeng sangat diharapkan utk melengkapi sejarah Kelurahan tercinta ini, semoga!