Selasa, 05 Juni 2012

SEJARAH MAKALEHI MAWELOGANG

Ketika itu Pulau Makalehi belum punya nama dan tidak berpenghuni, di sebuah lokasi di tepi pantai yang menghadap ke barat (sekarang disebut SOA), tumbuh sebatang pohon kenari (lehi) yang sangat besar dan tinggi. Penduduk Siau sering melaut mencari ikan ke pulau ini dan para nelayan Siau sering beristirahat di bawah pohon kenari itu. Tidak jarang banyak yang berusaha menebang pohon ini, namun aneh tidak bisa tumbang, setiap kali ditebang, luka bekas kapak pada pohon itu hilang tak membekas atau kembali seperti semula, namun nelayan Siau tidak putus asa. Mereka tetap berusaha untuk "makahaka lehi" (menumbangkan pohon kenari) sehingga setiap orang yang pergi ke pulau itu dengan tujuan menumbangkan pohon kenari itu selalu berkata "boete kite sesae makalehi (makahaka lehi)".

Akhirnya suatu saat pohon itupun tumbang dan orang-orang yang berhasil menumbangkannya disebut: Sire ko MAKALEHI yang berarti mereka yang berhasil menumbangkan pohon kenari. Demikianlah sampai saat ini pulau disebelah barat Siau ini disebut MAKALEHI, dengan nama sasahara MAWELOGANG yang berarti isi kenari yang tidak hancur saat ditumbuk atau dibelah, alias LEHI BELOGE atau LEHI WELOGE.

SEJARAH TATAHADENG

Tulisan ini dikutip dari catatan lepas Kepala Kelurahan Tatahadeng, Ifferson Kabuhung.

Konon pd zaman dahulu para leluhur masih menganut kepercayaan animisme yaitu menyembah para dewa dgn upacara ritual yg disebut PAKUNANG yaitu upacara penyembahan dgn mengorbankan seorang putri/dara remaja. Seiring dgn perkembangan zaman dan peradaban kebiasaan mengorbankan putri remaja diganti dgn menggunakan batang pohon pisang kemudian berkembang seterusnya diganti dgn Kue Tamo.

Pelaksanaan ritual adat tersebut sebelum mempersembahkan korban adlh diawali dgn ritual memberikan wewangian (bhs. Siau Melanise) terhadap korban dan upacara ritual ini dilaksanakan secara rutin baik itu dlm rangka menyembah dewa terlebih ketika dlm menghadapi masalah serangan dr pihak luar/musuh.

Konon pula daerah/tempat yg sekarang adlh Tatahadeng dahulu kala adlh hutan yg terbentang mulai dari pesisir pantai dan kira-kira thn 1500 M bangsa Philipina yg berasal dr Mindanao yg oleh penduduk pd waktu itu disebut Mangindano datang di daerah Sangihe Talaud sampai ke Siau, dimana mangindano ini datang merajalela merampok harta milik penduduk dan tidak segan-segan juga membunuh. Hal tsb membuat penduduk terutama yg berdiam di seputaran pesisir pantai tetap waspada menjaga kemungkinan dgn tekad apapun yg terjadi harus ditangkis/dilawan dgn tenaga dan daya.

Untuk lebih meyakinkan penduduk mengantisipasi serangan, para tua-tua atau pemimpin mengajak penduduk memohon ridho para dewa dgn mengadakan upacara ritual PAKUNANG sebagaimana disebut di bagian awal. Putri/dara remaja sebelum dikorbankan diawali dgn memberikan wewangian (MELANISE) dan lokasi atau tempat pelaksanaan ritual MELANISE disebut DALANISANG yg sekarang ini lokasinya berada di jalan belakang pertokoan (toko Abadi dll) serta kompleks SDN Tatehadeng, juga menjadi nama Lingkungan 1 (Dalanisang) Kelurahan Tatahadeng dan sering pula dipakai menjadi nama kesebelasan/klup sepakbola Kelurahan Tatahadeng. Lokasi ritual PAKUNANG ini karena berkembangnya penduduk dan peradaban sempat berpidah tempat ke Darunu/Kawolahe sekarang ini adlh Rt.01 Lingkungan V Hekang Kel.Tatahadeng. Sesudah ritual Melanise dilanjutkan dgn memotong korban, dan tempat pemotongan korban disebut "PANANEHADENG"

Konon pula pd waktu itu para tua-tua/pemimpin mendapat ilham dari para dewa dlm menghadapi/ menghalau musuh yaitu Mangindano, mereka mengatur barisan berjejer disepanjang tepian pantai dgn menyelipkan bunga/kembang cepatu (bhs.daerah Buhanga) berwarna merah tua dibokong/pantat dan ketika mereka melihat armada musuh sedang menuju teluk Ulu maka secara serentak mereka balik belakang dan bokong/pantat yg terselip kembang cepatu tersebut dipamerkan kpd musuh, ketika musuh melihat hal tsb melalui teropong mereka sangat ketakutan sekaligus putar haluan meninggalkan daerah sasaran kembali ke laut lepas dan mulai saat itu mangindano ini tdk pernah kembali lagi menjarah.

Seterusnya seiring dgn perjalanan waktu tmpt PANANEHADENG asal kata TEHADE oleh para tua-tua setempat diadopsi menjadi nama kampung yaitu TATEHADENG yg artinya "MEMBERIKAN KEPASTIAN YANG MEYAKINKAN". Dan seterusnya seiring dgn perubahan status dari Desa menjadi Kelurahan Nomenklatur berubah sedikit disesuaikan dgn SK Mendagri TATEHADENG menjadi TATAHADENG pengertiannya tetap tdk berubah dan menjadi nama Kelurahan sampai saat ini.
Dari thn 1910 - 1980 berstatus sebagai Desa/Kampung, sedangkan pengalihan status menjadi Kelurahan terjadi pd thn 1980 dimasa pemerintahan Bupati HADI SUTRISNO sampai sekarang.

Urutan Kades/Lurah sejak thn 1910 s/d sekarang :
  1. Frans Bartol Manalip 1910-1915
  2. Eduard Dauhan 1915-1926
  3. Jacobos Janis 1926-1930
  4. Samuel Kansil Salindeho 1930- 1942
  5. Philipus David 1942-1950
  6. Jacobus Sule Gonggalang 1950- 1972
  7. Alfonsius Salindeho 1972-1973
  8. Elias Laheba 1973-1980
  9. Karunya Loleng 1980-1986 Lurah.
  10. Elias Laheba 1986-1988 Lurah.
  11. Max Tantu 1988-2008 Lurah.
  12. Melva Hinondaleng,S.STP 2008- 2009 Lurah.
  13. Ifferson Kabuhung 2009 s/d sekarang. Lurah.

(dihimpun dr berbagai sumber, terutama para tua-tua adat di Kel. Tatahadeng)
Tdk menutup kemungkinan saran/masukan dr berbagai pihak yg tahu asal usul dr Kelurahan Tatahadeng sangat diharapkan utk melengkapi sejarah Kelurahan tercinta ini, semoga!