Senin, 09 Desember 2013

Pulau Miangas

Oleh: Steven (BNPB Manado) 
 
Sejarah pulau Miangas pada awalnya bernama Poilaten yang artinya ”dilihat dari Pilipina seperti kilat”. Alkisah seorang lelaki dari sulawesi tengah (Toli-toli) pergi ke Pilipina Selatan dan kemudian mengawini penduduk setempat. Di Pilipina mereka tinggal di gunung Kulama, gunung tertinggi di Pilipina atau disebut gunung Buki.  Suatu saat mereka mendapati pulau ini (Miangas) yang terlihat dari kejauahan seperti kapal dari timur laut. Mereka berdua masing-masing bernama Tinuri dan Sapu menaiki ikan hiu menuju pulau tersebut. Kedua orang itu datang ke pulau Poilaten yang masih kosong lalu tinggal di wilayah Tanjung Merah.
Setelah sekian lama, ada sekelompok orang dari pulau Dampulis (Nanusa, Talaud) berlayar ke Pilipina, dalam perjalanan mereka melihat pulau Poilaten dan tertarik untuk menyinggahinya, sehingga tidak jadi ke Pilipina. Ketika turun dari perahu dilihatnya jejak kaki, dan ia mencari-cari pemilik jejak kaki tersebut. Sewaktu menemukan Tinuri dan Sapu, merekapun mengikat kedua orang itu dan dinaikan ke perahu lalu berlayar kembali menuju Nanusa. Di tengah laut rombongan orang Dampulis membuang kedua orang tersebut ke laut dan melanjutkan perjalanan menuju Nanusa
Tinuri dan Sapu terapung-apung di laut, tiba-tiba ikan hiu yang pernah membawanya dari Pilipina datang lagi, ikan Hiu ini mengembalikan mereka ke pulau. Lama kelamahan orang-orang dari Dampulis datang lagi dengan membawa serombongan masyarakat Nanusa, sampai di pulau dilihatnya lagi, masih ada jejak kaki orang. Sampai bertemu dengan Tinuri dan Sapu yang pernah mereka buang, karena terkejut melihat keduanya masih hidup, orang-orang Dampulis beranggapan ada roh pada mereka sehingga jangan dibunuh lagi. Hingga mereka mulai hidup berdampingan sampai kawin mawin.  Sepanjang perjalanan sejarah, pulau Miangas beberapa kali berusaha dikuasai orang Pilipina terutama orang Sulu. Sampai sekarang terdapat beberapa bukti perlawanan/ perang orang Miangas melawan bangsa Pilipina seperti 2 buah benteng di Tanjung Bora dan Wui Batu (gunung keramat sekarang). Perang yang pertama pada waktu kedatangan orang Sulu Pilipina yang datang dengan 11 perahu dan jumlah 100 orang. Sementara di pulau Miangas baru didiami 5 kepala keluarga, dengan jumlah laki-laki ada 25 orang. Mereka membuat benteng di Tanjung Bora. Peperangan dengan tetesan darah para pendekar Miangas yang dipimpin seorang bernama ARE
Peperangan dengan orang Pilipina yang kedua yakni pada era panglima bernama Mura/mur’a. Orang Sulu datang dengan 5 perahu dan sebanyak 50 orang, mereka menyerang lagi. Setelahnya Mura mengambil batu besar dan mengangkatnya, ia menanam batu tersebut sampai dibawah tanah untuk menakuti orang Sulu hingga lari.
Perlawanan ketiga datang lagi orang Sulu      berjumlah 25 orang dan tinggal 2 perahu. Yang jadi panglima perang di Miangas orang Belanda dan sudah ada orang Cina yang bermukim, dan berdagang sini bernama Pentan dan Bela. Panglima perang asal Belanda tersebut bernama Andrikus. Merekapun bertarung di depan kantor Pos Angkatan Laut sekarang, dan kekuatan penduduk sudah ratusan orang. Orang Sulu menanyai, ada berapa penduduk dan kepala keluarga disini, dan apakah ada jago silat. Andrikus seorang bertubuh besar dan jago cabut kepala orang, lalu orang Cina tadi, jago silat bela diri. Jagoan dari Sulu dan Miangas saling berhadapan satu lawan satu atau duel. Kemenangan berpihak pada jagoan Miangas, dan orang Sulupun pulang.
Pulau Miangas memiliki beberapa nama, pertama Poilaten yang berarti kilat bahwa disini terpancar cahaya yang dilihat dari Pilipina dan saat 2 orang pertama berada di pulau ini, kilat menandakan bahwa 2 orang itu masih hidup. Nama kedua, Wui Batu yang berarti dilihat seperti batu dari jauh. Nama ketiga Tinonda berarti orang dari Nanusa berlayar kemari atau singgah dipulau ini. Nama keempat Miangas berarti malu atau namea dalam bahasa Sangir, dimana orang dari Talaud datang kesini sudah ada orang, dan menjadi malu. Miangas di artikan juga dengan menangis. Nama kelima, Palmas yang merupakan istilah orang Pilipina karena ada pohon pinang/palem ditanam orang Pilipina (sampai sekarang tersisa satu pohon Palem di Wui Batu), bagi orang Davao Pilipina menyebutnya Tagal Palmas.
Adat  di pulau Miangas mengenal adanya Eha atau larangan, semacam Eha untuk Manami seperti Mane’e di pulau Kakorotan. Eha ini melarang orang menangkap ikan pada lokasi tertentu lalu pada saat eha dibuka, masyarakat melakukan penangkapan ikan besar-besaran dan melakukan pesta syukuran desa dengan makan bersama. Manami terjadi saat orang tua dahulu berkeinginan ada kebersamaan dan tamasya melalui adat Eha, hasil tangkapan dibagi dan dimakan bersama.
Pada bulan Januari sampai Maret, dilarang masuk lokasi/ tangkap ikan, yang melanggar pinggir pantai akan dikenakan denda Rp. 100.000, kalau menangkap ikan dendanya Rp. 500.000. Dua  hari sebelum hari puncak acara dibuat tali yang panjang, pada hari puncak semua laki-laki diturunkan ke pantai lokasi manami yakni dari tanjung Ondene dan Libuang, mereka saling melingkar, ujungnya ketemu menjadi dua lingkaran, saat bersamaan posisi air laut sudah surut, dan ikan dikumpulkan dengan mudah. Hasil ikan tersebut dibagi-bagikan kepada pimpinan adat, pemerintah, masyarakat dan para tamu. Para tamu berada di bangsal utama yang disediakan, masyarakat di pondokan kecil atau sabuah-sabuah. Ikan untuk masyarakat sebagian dibakar atau dimasak pada masing-masing sabuah. Setelah semua telah siap, diadakanlah makan bersama dengan diiringi pagelaran seni budaya setempat.
Tradisi adat lainnya seperti kunci tahun yang digelar awal bulan Januari. Pesta kunci tahun semacam Tulude di sangihe ini diacarakan dengan tarian perang cakalele serta tarian lainnya. Kemudian pada akhir Januari dilakukan acara pelepasan warga untuk memasuki masa kerja, dimana para pekerja menurunkan alat-alat kerjanya seperti petani menurunkan peda, pegawai menurunkan pena, nelayan menurunkan panggayung, dll. Karena tahun yang baru, mereka menurunkan semua alat-alat dan memohon kepada yang Maha Kuasa untuk diberi kekuatan, pertolongan, berkat dibulan pertama tersebut. Pada bulan keempat (bulan April) dilakukan acara ucapan syukur (hasil panen), dilakukan dengan beribadah ke gereja/ doa di gereja, lalu makan-makan ditiap rumah. Aturan adat setempat masih tergolong kuat terutama dalam mengatur tata moral masyarakat, seperti adanya sangsi kepada mereka yang melakukan pelanggaran moral yang berat, seperti perselingkuhan, pencurian.
Struktur pemerintahan adat masih dipelihara yakni dipimpin seorang Ratumbanua atau Mangkubumi I dengan wakilnya Inanguanua atau Mangkubumi II. Kemudian dibawahnya ada 12 kepala suku yang membawahi masing-masing kelompok keluarga besar. Pemimpin-pemimpin adat ini tidak memiliki periode tetap, tetapi apabila melakukan kesalahan atau mengundurkan diri maka bisa diganti, yang melakukan pergantian adalah masyarakat. Kepala suku diangkat oleh masyarakat oleh anak-anak kepala suku dan Ratumbanua tidak bisa memberhentikan kepala suku. Kalau kepala desa dipilih oleh masyarakat, dalam pemilihan kepala desa, warga lebih melihat figur calon kepala desa meskipun dari suku kecil.
Perekonomian masyarakat pulau Miangas mengandalkan perkebunan Kelapa untuk membuat Kopra, disamping nelayan, pegawai, berdagang, dll. Dahulu masih berlangsung perdagangan pelintas batas pendapatan masyarakat sampai 100-200 ribu per hari, dengan jual beli barang dengan orang-orang Pilipina. Kondisi terakhir sekarang menurut Robustianus seorang warga setempat, bahwa disayangkan pembeli yang datang dari pilipina mendapatkan banyak pungutan resmi dan pungutan liar, sehingga aktivitas jual beli terhenti.
Persoalan pelik lainnya masyarakat menghadapi ketiadaan bahan bakar minyak bumi, yang telah berlangsung lama, apalagi telah adanya larangan menaikan bahan bakar minyak bumi di kapal-kapal pengangkut umum seperti kapal perintis. ”telah disediakan tangki penampung bahan bakar, namun isinya tidak ada, warga sini menjadi sangat kesusahan, tidak bisa melaut lagi, kecuali menangkap ikan dengan mengandalkan panggayung saja. Ini beresiko sebab arus laut setempat sangat besar, kalau tidak pakai mesin, perahu dapat terhanyut ke laut lepas” kata Robustianus Papea yang juga Inanguanua Miangas. Sebagai Inanguanua, Papea menambahkan perlu perhatian kepada pengembangan sejarah budaya setempat terutama fasilitas pada lokasi situs sejarah.
Mengenai sarana prasarana pelabuhan sebagai sarana sangat vital bagi masyarakat setempat belum memecahkan persoalan dalam mengatasi masalah bersandarnya kapal-kapal dari luar Miangas saat terjadi gelombang  besar pada dermaga yang ada sekarang. Dengan kondisi demikian masyarakat Miangas akan terisolir selama beberapa bulan karena tidak ada kapal masuk yang membawa stok atau bahan-bahan makanan, dan bahan lainnya. Sehingga solusinya perlu ada dermaga kedua pada bagian pulau lainnya yang berbeda tempat dan saling membelakangi. Kalau cuaca buruk kapal yang ke Miangas akan bersandar di bagian dermaga sebelahnya.

PENGARUH HINDUISME DALAM MITOS ASAL-USUL KERAJAAN TAMPUNGANG LAWO (DAN BUDAYA MOYANG SATAS SEBELUM PARUH KEDUA ABAD KE-16)

Oleh: Sovian Lawendatu
 
Mitos terjadinya Kerajaan Tampungang Lawo, dengan Raja dan Permaisuri Ghumansa Langi (Medellu) dan Onda Asa (Mekilla) tampaknya dipengaruhi oleh Hinduisme, khususnya menyangkut Wiracarita RAMA & SHITA. Konon Ghumansa Langi adalah Putera Mahkota Kerajaan COTABATU di Mindanao Selatan, yang dibuang ke hutan sebelum akhirnya (atas kehendak DUATA) menjadi Raja di Salurang/Moade yang kelak dinamai Tampungang Lawo. Pembuangan Ghumansa Langi itu konon atas permintaan permaisuri muda Raja Cota Batu (ayah Ghumansa Langi) yang menghendaki agar yang menjadi ahliwaris kerajaan bukan Ghumansa Langi melainkan putera dari permaisuri muda itu. Di situlah terlihat kesejajaran alur (plot) cerita/mitos asal-usul Kerajaan Tampungang Lawo dengan wiracarita Rama & Shita (terkenal dengan RAMAYANA). 

Pengaruh Hinduisme ini kiranya jelas juga dengan kehadiran tokoh dewa DUATA/RUATA. Brilman memang mencatat bahwa sebelum paruh kedua abad ke-16, penduduk kepulauan Sangihe dan Talaud menganut kepercayaan dewa-dewa di samping praanimisme (kepercayaan mana), animisme, dan penyembahan orang mati. Dalam hal ini, salah satu dewa yang dipercaya oleh penduduk kepulauan Sangihe dan Talaud adalah DUATA, yang menurut Brilman berasal dari kata/nama DEWATA. 

Pengaruh Hinduisme itu saya kira dapat dilacak melalui faktor Kerajaan MAJAPAHIT sebagai Kerajaan Hindu-Jawa yang tergolong KERAJAAN NUSANTARA II. Bukankah Sangihe dan Talaud termasuk dalam wilayah Kekuasaan Majapahit? Ada lagi unsur-unsur budaya Hinduisme (Hindu-Jawa) yang memperlihatkan kepengaruhannya atas budaya/agama atau mungkin lebih luas lagi PANDANGAN DUNIA (LEBENSWELT) Penduduk Sangihe dan Talaud pada masa itu, yaitu alat musik NANAUNGAN (yang mirip gamelan), TAGHONGONG. Bahkan dapat diduga bahwa Upacara ADAT TULUDE (MEMOTONG TAMO), yang konon bermula pada masa Perkawinan MAKAAMPO WAWENGEHE, merupakan pengaruh tradisi ritual MEMOTONG TUMPENG di Jawa, sementara tradisi MENAHULENDING BANUA agaknya dapat dilacak sumbernya pada Ritus MERUWAT di dunia budaya Jawa (Hindu-Jawa). 

Lebih jauh, untuk menelisik adanya pengaruh Hinduisme (Agama/Budaya/Pandangan dunia Hinduisme atau Hindu Jawa atas budaya Sangihe dan Talaud pada masa itu kiranya dapat memanfaatkan SASALAMATE (juga SASAMBO, KAKUMBAEDE, KAKALANTO). Khusus menyangkut SASALAMATE, saya sudah coba menelusurinya melalui Perspektif SOSIOLOGI SASTRA/SENI FENOMENOLOGIS, seperti yang pernah saya posting di grup ini. Sebab memanglah (bagi saya), SASALAMATE dari segi isinya termasuk MITOS AETOLOGIS, yakni mitos yang mengandung larangan, perintah dan adat).

Senin, 26 Agustus 2013

SAKEHA



Di pantai tempat yang sangat baik untuk peristirahatan bagi pengembara, tempat yang dalam bahasa Siau disebut sebagai “Mangilaghaeng”. Dengan kata lain Mangilaghaeng berarti tempat yang baik untuk beristirahat. Pantainya berpasir, ditumbuhi pohon-pohon besar seperti pohon dingkalreng, penimbuhing dan bitung yang akar-akarnya timbul di permukaan tanah dan menggelantung, saling kait mengait menyerupai gua yang lengkap dengan untaian akar serabut. Serabut akar itu seringkali digunakan penduduk sebagai ayun-ayunan. Sedangkan orang-orang dewasa dapat melepas lelah setelah melaut atau sesudah berkebun, membaringkan diri mereka di atas hamparan pasir, di bawah rindang pepohonan raksasa yang berjejer itu. Bahkan sampai pagi. Sungguh indah suasana kala itu.  Itulah gambaran landscape pantai Laghaeng hingga era 1980an.

Ditelisik jauh ke belakang, yaitu dibalik sejarah berdirinya kampung, di sebelah selatan perkampungan terdapat sekelompok orang yang berasal dari Kampung Makoa. Orang-orang itu menetap sementara waktu, karena keperluan melaut. Tempat yang mereka tinggali dipenuhi pohon sagu yang disebut baru atau bahu di pesisir pantainya. Sedangkan orang-orang membangun daseng mereka di tempat yang agak tinggi. Tempat itu dinamakan Bowong Bahu. Di kemudian hari tempat itu disebut Bombahu atau Bumbahu

Di Mangilaghaeng hiduplah sepasang suami isteri bernama Sakeha dan Siondaľi dengan beberapa keluarga merupakan keturunan Gehiwu yang awalnya menetap di puncak Bukit Megembalo. Sakeha dikenal sebagai pria yang memiliki kekayaan melimpah tetapi rendah hatinya. Isterinya, Siondaľi wanita yang amat cantik, memiliki rambut lurus sampai ke tumit dan kulitnya putih mulus, tidak heran kecantikannya memikat hati banyak orang. Dalam hal bergaul, Sakeha tidak memilih sahabat, ia bergaul dengan siapa saja karena semua orang dipandangnya baik. Sungguh pikirannya selalu positif. Sikap itulah yang membuat putri Siondali takluk dan mau dinikahi oleh Sakeha. Kedua sejoli itu hidup damai dan sejahtera, penuh kearifan dan kekayaan materi. Sakeha membuat sebilah belati dari emas murni dan isterinya mengoleksi ratusan barang-barang emas, seperti kalung, anting, gelang, serta perhiasan-perhiasan lainnya yang diletakkannya pada sebuah piring putih (pinggang uhise).

Sementara itu di Bumbahu hidup sekelompok orang yang seringkali turun ke pantai Mangilaghaeng untuk melepas lelah. Sakeha yang bertubuh kekar itu dijuluki “bahani” dan berteman karib dengan Mangintari dari Bumbahu. Mangintari sudah lama mengidap penyakit kulit sehingga tubuhnya bersisik. Dalam persahabatan kedua lelaki itu Mangintari kemudian merasa terpikat hatinya melihat kecantikan Siondal’i.   

Sejatinya Sakeha dengan belati emasnya, mampu menarik murninya cinta Siondali. Sebaliknya, Mangintari merasa jatuh cinta pada Siondali meski hanya bertepuk sebelah tangan. Mangintari menyusun siasat untuk melenyapkan Sakeha dari muka bumi. Diajaknya Sakeha mencari ikan (mubae) dengan satu perahu didayung bersama.

Ketika hendak melaut bersama, Mangintari mengambil belati emas milik Sakeha kemudian menjatuhkannya ke dasar laut, karena pikirnya, belati itulah yang selama ini menjadi sumber segala kesaktian Sakeha sehingga dengan mudahnya memperoleh kekayaan dan isteri yang cantik. Sakeha kaget melihat perbuatan Mangintari, kemudian bertindak spontan menyelam ke dasar laut mengejar belatinya dengan menggunakan tolu di kepalanya. Sakeha tak sempat membuka tolu yang dikenakannya saat itu.

Sebelum belati emasnya menyentuh dasar laut, belati itu terlebih dulu menancap di ujung tolu yang dikenakan Sakeha, kemudian dirinya kembali ke permukaan dengan belati sakti yang tertancap kuat di tolu-nya.

Sementara Sakeha sedang berjuang keras mengejar belatinya tadi, Mangintari buru-buru kembali ke daratan dan memberitahukan kepada seluruh penduduk di Laghaeng maupun penduduk bahwa Sakeha telah tenggelam ke dasar laut dan dimangsa ikan hiu. Mangintaripun pergi hendak meminang janda Sakeha, si Siondal’i. Mendengar kabar itu, Siondal’I menangis semalam suntuk lalu menolak mentah-mentah lamaran Mangintari.

Ketika subuh datang, Siondali naik ke Pahempang melalui “dal’eng batu” membawa semua harta emasnya yang diletakkan di piring uhise. Dari atas Pahempang ia lalu menangis sekuat-kuatnya sehingga didengar oleh semua penduduk, kemudian membuang dirinya dan seluruh emasnya ke tubir Kampung Laghaeng. Dan hingga kini, tak seorangpun menemukan jasad Siondalri dan harta itu kembali. Dalam tangisnya Siondali berpesan bahwa harta kekayaannya tidak berguna sama sekali, lebih baik dirinya kehilangan emas daripada kehilangan kekasih hatinya yang selama ini hidup bersama penuh cinta. Sejak saat itu dikenallah pepatah Laghaeng “Maning Bulraeng Sindepa, Tamakasulrung Pudalahiking Mapia”.  
       
Padahal, sesungguhnya Sakeha ditolong oleh Hiu raksasa (Tangahiang) dan selama tiga hari tiga malam mereka pergi ke semua nusa untuk menyampaikan kabar sekaligus anjuran perdamaian tentang jasa pertolongan Hiu kepada anak manusia (Sakeha), sehingga seluruh manusia di nusa-nusa sejak saat itu dilarang memburu dan makan daging Hiu. Jika anjuran ini tidak diindakan, maka hukumannya adalah manusia akan dimangsa Hiu, sebaliknya jika anjuran ini ditegakkan, maka manusia akan ditolong dari bahaya di lautan.  

Setelah melakukan misi mulia itu, pada petang di hari ketiga, tiba-tiba pantai Laghaeng dan segala isinya dihantam ombak yang amat besar seperti sedang mengalami tsunami. Ombak itu terjadi karena amukan banyak ikan hiu yang berseliweran dan menggelorakan air laut di pantai Laghaeng. Tsunami itu memporak-porandakan setiap sudut kampung sampai hancur lebur. Begitu banyak ikan-ikan seperti ikan layang dan ikan bergerigi panjang dan tajam (ikan selong) menancap dan menembus batang pohon-pohon pisang milik warga. Warga mengungsi ke kaki bukit Magembalo dan kaki bukit Gumahe. Dalam pengungsian yang mendadak itu, warga mengalami kekurangan makanan dan ikan-ikan yang menancap di pohon pisang kemudian diambil warga untuk dikonsumsi. Sejak saat itu kampung baru yang ditempati warga eksodus itu diberi nama “laghae” yang artinya masaklah.  

Warga Laghaeng yang mengungsi kala itu melihat langsung aksi gagah perkasa Sakeha yang mengendarai Tangahiang dan mendamparkan dirinya di sebuah batu datar yang terletak samping Batu Darisi (batu berdiri). Mulut Tangahiang terbuka lebar setinggi batu darisi itu sembari menakut-nakuti penduduk yang sedang lari tunggang langgang. Sakeha kemudian turun dari punggung Tangahiang dengan melompat ke atas batu datar itu dan menenangkan seluruh warga agar tidak panik. 

Sebagai rasa terimakasihnya pada Tangahiang, Sakeha mencari bunga Manuru dicampur dengan pohon-pohon wewangian lainnya diramu menjadi air wewangian yang dimandikan kepada Tangahiang. Hiu raksasa itupun menjadi betah tinggal di Laut Laghaeng. Tangahiang memberi tanda kepada Sakeha bahwa dalam tiga hari Sakeha tidak boleh mandi di laut.
Sakeha tidak membalas perbuatan jahat yang dilakukan Mangintari terhadap dirinya. Karena jelas tidak dapat menghidupkan kembali isteri tercintanya. Hanya saja, Sakeha telah belajar banyak perilaku sahabatnya yang sudah melakukan perbuatan jahat dan tetap mengampuni dan mengasihani Mangintari seperti saudaranya sekandung. 

Setelah tiga hari yang diisyaratkan oleh Tangahiang, sekelompok Hiu kembali menyerang pantai Laghaeng dan ombak besar menghantam semua yang tinggal di kampung. Pada saat itulah, Mangintari lenyap ditelan ombak dan dimakan Hiu secara mengenaskan.  Sikap patriotik dan ksatria Sakeha ini, menjadi teladan bagi keturunannya di Kampung Laghaeng.

Dalam perjalanan sejarah di kemudian hari, kampung Laghae berubah nama menjadi Laghaeng. Kedua huruf “ng” ditambahkan kemudian pada abad ke 19 oleh Guru Kakalang. Sejak saat itu Kampung Laghae menjadi Kampung Laghaeng. Yang dimaksud dengan Kampung Laghaeng adalah kampung dimana Tangahiang dan Sakeha mendarat. Kampung yang dulunya satu bagian utuh itu, kini terpisah. Warga yang menempati kaki bukit Megembalo menjadi warga kampung Laghaeng, sedangkan warga yang menempati kaki bukit Gumahe yaitu kawasan yang ditumbuhi banyak pohon bahu (sejenis palm untuk membuat sagu), disebut sebagai warga Bumbahu. 

Kedua tempat Bumbahu dan Laghaeng dibatasi oleh satu anak bukit yang disebut Peliang sementara di kedua ujung kampung, terdapat tanjung yang disebut Tonggeng Laghaeng dan Tonggeng Bumbahu, keduanya selanjutnya dinamakan Tonggene. Bukit kecil yang menjadi batas pemisah Laghaeng-Bumbahu menjadi tempat dikuburkannya jasad Siondali dan bukit Pahempang yang tersambung dengan tanjung Laghaeng dimana Batu Darisi itu berada, menjadi tempat dimakamkannya Sakeha. Persisnya, makam Sakeha dapat dijumpai di tempat yang detilnya disebut “tamba” dan Siondali makamnya di “Bowong Peliang”. Peliang sendiri berasal dari kata peli yang berarti tabuh, sehingga Peliang dapat diartikan: yang ditabuhkan. Setiap orang yang hendak berjalan melewati Peliang, dilarang berbicara dengan suara keras apalagi ribut, karena di tempat ini sangat mateling[1].

Sumber Wawancara: George Takalmingan, A Maningide Frens Kampong, Frans Kampong, Martin Lukas,


[1] Sudirno Kaghoo dalam artikel: Kepribadian Malunsemahe: Mateleng, Matelang, Mateling.