Di pantai tempat yang sangat baik untuk
peristirahatan bagi pengembara, tempat yang dalam bahasa Siau disebut sebagai “Mangilaghaeng”.
Dengan kata lain Mangilaghaeng berarti tempat yang baik untuk beristirahat. Pantainya
berpasir, ditumbuhi pohon-pohon besar seperti pohon dingkalreng, penimbuhing dan bitung yang akar-akarnya timbul di permukaan tanah dan menggelantung, saling kait mengait
menyerupai gua yang lengkap dengan untaian akar serabut. Serabut akar itu seringkali digunakan penduduk sebagai ayun-ayunan.
Sedangkan orang-orang dewasa dapat melepas lelah setelah melaut atau sesudah
berkebun, membaringkan diri mereka di atas hamparan pasir, di bawah rindang
pepohonan raksasa yang berjejer itu. Bahkan sampai pagi. Sungguh indah suasana
kala itu. Itulah gambaran landscape pantai Laghaeng hingga era 1980an.
Ditelisik jauh ke belakang, yaitu dibalik sejarah berdirinya kampung, di sebelah selatan perkampungan terdapat
sekelompok orang yang berasal dari Kampung Makoa. Orang-orang itu menetap
sementara waktu, karena keperluan melaut. Tempat yang mereka tinggali dipenuhi
pohon sagu yang disebut baru atau bahu di pesisir pantainya. Sedangkan
orang-orang membangun daseng mereka di tempat yang agak tinggi. Tempat itu
dinamakan Bowong Bahu. Di kemudian hari tempat itu disebut Bombahu atau
Bumbahu.
Di Mangilaghaeng hiduplah sepasang suami
isteri bernama Sakeha dan Siondaľi dengan beberapa keluarga merupakan keturunan
Gehiwu yang awalnya menetap di puncak Bukit Megembalo. Sakeha dikenal sebagai
pria yang memiliki kekayaan melimpah tetapi rendah hatinya. Isterinya, Siondaľi
wanita yang amat cantik, memiliki rambut lurus sampai ke tumit dan kulitnya
putih mulus, tidak heran kecantikannya memikat hati banyak orang. Dalam hal
bergaul, Sakeha tidak memilih sahabat, ia bergaul dengan siapa saja karena
semua orang dipandangnya baik. Sungguh pikirannya selalu positif. Sikap itulah
yang membuat putri Siondali takluk dan mau dinikahi oleh Sakeha. Kedua sejoli
itu hidup damai dan sejahtera, penuh kearifan dan kekayaan materi. Sakeha
membuat sebilah belati dari emas murni dan isterinya mengoleksi ratusan
barang-barang emas, seperti kalung, anting, gelang, serta perhiasan-perhiasan
lainnya yang diletakkannya pada sebuah piring putih (pinggang uhise).
Sementara itu di Bumbahu hidup sekelompok
orang yang seringkali turun ke pantai Mangilaghaeng untuk melepas lelah. Sakeha
yang bertubuh kekar itu dijuluki “bahani” dan berteman karib dengan Mangintari
dari Bumbahu. Mangintari sudah lama mengidap penyakit kulit sehingga tubuhnya
bersisik. Dalam persahabatan kedua lelaki itu Mangintari kemudian merasa
terpikat hatinya melihat kecantikan Siondal’i.
Sejatinya
Sakeha dengan belati emasnya, mampu menarik murninya cinta Siondali.
Sebaliknya, Mangintari merasa jatuh cinta pada Siondali meski hanya bertepuk
sebelah tangan. Mangintari menyusun siasat untuk melenyapkan Sakeha dari muka
bumi. Diajaknya Sakeha mencari ikan (mubae)
dengan satu perahu didayung bersama.
Ketika hendak melaut bersama, Mangintari mengambil
belati emas milik Sakeha kemudian menjatuhkannya ke dasar laut, karena pikirnya,
belati itulah yang selama ini menjadi sumber segala kesaktian Sakeha sehingga
dengan mudahnya memperoleh kekayaan dan isteri yang cantik. Sakeha kaget melihat
perbuatan Mangintari, kemudian bertindak spontan menyelam ke dasar laut
mengejar belatinya dengan menggunakan tolu
di kepalanya. Sakeha tak sempat membuka tolu yang dikenakannya saat itu.
Sebelum belati emasnya menyentuh dasar laut,
belati itu terlebih dulu menancap di ujung tolu yang dikenakan Sakeha, kemudian
dirinya kembali ke permukaan dengan belati sakti yang tertancap kuat di tolu-nya.
Sementara Sakeha sedang berjuang keras mengejar
belatinya tadi, Mangintari buru-buru kembali ke daratan dan memberitahukan
kepada seluruh penduduk di Laghaeng maupun penduduk bahwa Sakeha telah
tenggelam ke dasar laut dan dimangsa ikan hiu. Mangintaripun pergi hendak
meminang janda Sakeha, si Siondal’i. Mendengar kabar itu, Siondal’I menangis
semalam suntuk lalu menolak mentah-mentah lamaran Mangintari.
Ketika subuh datang, Siondali naik ke
Pahempang melalui “dal’eng batu” membawa semua harta emasnya yang diletakkan di
piring uhise. Dari atas Pahempang ia lalu menangis sekuat-kuatnya sehingga
didengar oleh semua penduduk, kemudian membuang dirinya dan seluruh emasnya ke tubir
Kampung Laghaeng. Dan hingga kini, tak seorangpun menemukan jasad Siondalri dan
harta itu kembali. Dalam tangisnya Siondali berpesan bahwa harta kekayaannya
tidak berguna sama sekali, lebih baik dirinya kehilangan emas daripada
kehilangan kekasih hatinya yang selama ini hidup bersama penuh cinta. Sejak
saat itu dikenallah pepatah Laghaeng “Maning
Bulraeng Sindepa, Tamakasulrung Pudalahiking Mapia”.
Padahal, sesungguhnya Sakeha ditolong oleh Hiu
raksasa (Tangahiang) dan selama tiga hari tiga malam mereka pergi ke semua nusa
untuk menyampaikan kabar sekaligus anjuran perdamaian tentang jasa pertolongan
Hiu kepada anak manusia (Sakeha), sehingga seluruh manusia di nusa-nusa sejak
saat itu dilarang memburu dan makan daging Hiu. Jika anjuran ini tidak
diindakan, maka hukumannya adalah manusia akan dimangsa Hiu, sebaliknya jika anjuran
ini ditegakkan, maka manusia akan ditolong dari bahaya di lautan.
Setelah melakukan misi mulia itu, pada petang
di hari ketiga, tiba-tiba pantai Laghaeng dan segala isinya dihantam ombak yang
amat besar seperti sedang mengalami tsunami. Ombak itu terjadi karena amukan banyak
ikan hiu yang berseliweran dan menggelorakan air laut di pantai Laghaeng.
Tsunami itu memporak-porandakan setiap sudut kampung sampai hancur lebur.
Begitu banyak ikan-ikan seperti ikan layang dan ikan bergerigi panjang dan
tajam (ikan selong) menancap dan
menembus batang pohon-pohon pisang milik warga. Warga mengungsi ke kaki bukit
Magembalo dan kaki bukit Gumahe. Dalam pengungsian yang mendadak itu, warga
mengalami kekurangan makanan dan ikan-ikan yang menancap di pohon pisang
kemudian diambil warga untuk dikonsumsi. Sejak saat itu kampung baru yang
ditempati warga eksodus itu diberi nama “laghae”
yang artinya masaklah.
Warga Laghaeng
yang mengungsi kala itu melihat langsung aksi gagah perkasa Sakeha yang
mengendarai Tangahiang dan mendamparkan dirinya di sebuah batu datar yang
terletak samping Batu Darisi (batu
berdiri). Mulut Tangahiang terbuka lebar setinggi batu darisi itu sembari
menakut-nakuti penduduk yang sedang lari tunggang langgang. Sakeha kemudian
turun dari punggung Tangahiang dengan melompat ke atas batu datar itu dan
menenangkan seluruh warga agar tidak panik.
Sebagai rasa terimakasihnya pada Tangahiang, Sakeha
mencari bunga Manuru dicampur dengan pohon-pohon wewangian lainnya diramu
menjadi air wewangian yang dimandikan kepada Tangahiang. Hiu raksasa itupun
menjadi betah tinggal di Laut Laghaeng. Tangahiang memberi tanda kepada Sakeha
bahwa dalam tiga hari Sakeha tidak boleh mandi di laut.
Sakeha tidak membalas perbuatan jahat yang
dilakukan Mangintari terhadap dirinya. Karena jelas tidak dapat menghidupkan
kembali isteri tercintanya. Hanya saja, Sakeha telah belajar banyak perilaku sahabatnya
yang sudah melakukan perbuatan jahat dan tetap mengampuni dan mengasihani Mangintari
seperti saudaranya sekandung.
Setelah tiga hari yang diisyaratkan oleh
Tangahiang, sekelompok Hiu kembali menyerang pantai Laghaeng dan ombak besar
menghantam semua yang tinggal di kampung. Pada saat itulah, Mangintari lenyap
ditelan ombak dan dimakan Hiu secara mengenaskan. Sikap patriotik dan ksatria Sakeha ini,
menjadi teladan bagi keturunannya di Kampung Laghaeng.
Dalam perjalanan sejarah di kemudian hari,
kampung Laghae berubah nama menjadi
Laghaeng. Kedua huruf “ng”
ditambahkan kemudian pada abad ke 19 oleh Guru Kakalang. Sejak saat itu Kampung
Laghae menjadi Kampung Laghaeng. Yang dimaksud dengan Kampung Laghaeng adalah
kampung dimana Tangahiang dan Sakeha
mendarat. Kampung yang dulunya satu bagian utuh itu, kini terpisah. Warga yang
menempati kaki bukit Megembalo menjadi warga kampung Laghaeng, sedangkan warga
yang menempati kaki bukit Gumahe yaitu kawasan yang ditumbuhi banyak pohon bahu
(sejenis palm untuk membuat sagu), disebut sebagai warga Bumbahu.
Kedua tempat Bumbahu dan Laghaeng dibatasi
oleh satu anak bukit yang disebut Peliang sementara di kedua ujung kampung,
terdapat tanjung yang disebut Tonggeng
Laghaeng dan Tonggeng Bumbahu,
keduanya selanjutnya dinamakan Tonggene.
Bukit kecil yang menjadi batas pemisah Laghaeng-Bumbahu menjadi tempat
dikuburkannya jasad Siondali dan bukit Pahempang yang tersambung dengan tanjung
Laghaeng dimana Batu Darisi itu
berada, menjadi tempat dimakamkannya Sakeha. Persisnya, makam Sakeha dapat
dijumpai di tempat yang detilnya disebut “tamba”
dan Siondali makamnya di “Bowong Peliang”.
Peliang sendiri berasal dari kata peli yang berarti tabuh, sehingga Peliang dapat diartikan: yang ditabuhkan.
Setiap orang yang hendak berjalan melewati Peliang, dilarang berbicara dengan
suara keras apalagi ribut, karena di tempat ini sangat mateling[1].
Sumber
Wawancara: George Takalmingan, A Maningide Frens Kampong, Frans Kampong, Martin
Lukas,