Oleh: Steven (BNPB Manado)
Sejarah pulau Miangas pada awalnya bernama Poilaten yang artinya ”dilihat dari Pilipina seperti kilat”. Alkisah seorang lelaki dari sulawesi tengah (Toli-toli) pergi ke Pilipina Selatan dan kemudian mengawini penduduk setempat. Di Pilipina mereka tinggal di gunung Kulama, gunung tertinggi di Pilipina atau disebut gunung Buki. Suatu saat mereka mendapati pulau ini (Miangas) yang terlihat dari kejauahan seperti kapal dari timur laut. Mereka berdua masing-masing bernama Tinuri dan Sapu menaiki ikan hiu menuju pulau tersebut. Kedua orang itu datang ke pulau Poilaten yang masih kosong lalu tinggal di wilayah Tanjung Merah.
Setelah sekian lama, ada sekelompok orang dari pulau Dampulis (Nanusa, Talaud) berlayar ke Pilipina, dalam perjalanan mereka melihat pulau Poilaten dan tertarik untuk menyinggahinya, sehingga tidak jadi ke Pilipina. Ketika turun dari perahu dilihatnya jejak kaki, dan ia mencari-cari pemilik jejak kaki tersebut. Sewaktu menemukan Tinuri dan Sapu, merekapun mengikat kedua orang itu dan dinaikan ke perahu lalu berlayar kembali menuju Nanusa. Di tengah laut rombongan orang Dampulis membuang kedua orang tersebut ke laut dan melanjutkan perjalanan menuju Nanusa
Tinuri dan Sapu terapung-apung di laut, tiba-tiba ikan hiu yang pernah membawanya dari Pilipina datang lagi, ikan Hiu ini mengembalikan mereka ke pulau. Lama kelamahan orang-orang dari Dampulis datang lagi dengan membawa serombongan masyarakat Nanusa, sampai di pulau dilihatnya lagi, masih ada jejak kaki orang. Sampai bertemu dengan Tinuri dan Sapu yang pernah mereka buang, karena terkejut melihat keduanya masih hidup, orang-orang Dampulis beranggapan ada roh pada mereka sehingga jangan dibunuh lagi. Hingga mereka mulai hidup berdampingan sampai kawin mawin. Sepanjang perjalanan sejarah, pulau Miangas beberapa kali berusaha dikuasai orang Pilipina terutama orang Sulu. Sampai sekarang terdapat beberapa bukti perlawanan/ perang orang Miangas melawan bangsa Pilipina seperti 2 buah benteng di Tanjung Bora dan Wui Batu (gunung keramat sekarang). Perang yang pertama pada waktu kedatangan orang Sulu Pilipina yang datang dengan 11 perahu dan jumlah 100 orang. Sementara di pulau Miangas baru didiami 5 kepala keluarga, dengan jumlah laki-laki ada 25 orang. Mereka membuat benteng di Tanjung Bora. Peperangan dengan tetesan darah para pendekar Miangas yang dipimpin seorang bernama ARE
Peperangan dengan orang Pilipina yang kedua yakni pada era panglima bernama Mura/mur’a. Orang Sulu datang dengan 5 perahu dan sebanyak 50 orang, mereka menyerang lagi. Setelahnya Mura mengambil batu besar dan mengangkatnya, ia menanam batu tersebut sampai dibawah tanah untuk menakuti orang Sulu hingga lari.
Perlawanan ketiga datang lagi orang Sulu berjumlah 25 orang dan tinggal 2 perahu. Yang jadi panglima perang di Miangas orang Belanda dan sudah ada orang Cina yang bermukim, dan berdagang sini bernama Pentan dan Bela. Panglima perang asal Belanda tersebut bernama Andrikus. Merekapun bertarung di depan kantor Pos Angkatan Laut sekarang, dan kekuatan penduduk sudah ratusan orang. Orang Sulu menanyai, ada berapa penduduk dan kepala keluarga disini, dan apakah ada jago silat. Andrikus seorang bertubuh besar dan jago cabut kepala orang, lalu orang Cina tadi, jago silat bela diri. Jagoan dari Sulu dan Miangas saling berhadapan satu lawan satu atau duel. Kemenangan berpihak pada jagoan Miangas, dan orang Sulupun pulang.
Pulau Miangas memiliki beberapa nama, pertama Poilaten yang berarti kilat bahwa disini terpancar cahaya yang dilihat dari Pilipina dan saat 2 orang pertama berada di pulau ini, kilat menandakan bahwa 2 orang itu masih hidup. Nama kedua, Wui Batu yang berarti dilihat seperti batu dari jauh. Nama ketiga Tinonda berarti orang dari Nanusa berlayar kemari atau singgah dipulau ini. Nama keempat Miangas berarti malu atau namea dalam bahasa Sangir, dimana orang dari Talaud datang kesini sudah ada orang, dan menjadi malu. Miangas di artikan juga dengan menangis. Nama kelima, Palmas yang merupakan istilah orang Pilipina karena ada pohon pinang/palem ditanam orang Pilipina (sampai sekarang tersisa satu pohon Palem di Wui Batu), bagi orang Davao Pilipina menyebutnya Tagal Palmas.
Adat di pulau Miangas mengenal adanya Eha atau larangan, semacam Eha untuk Manami seperti Mane’e di pulau Kakorotan. Eha ini melarang orang menangkap ikan pada lokasi tertentu lalu pada saat eha dibuka, masyarakat melakukan penangkapan ikan besar-besaran dan melakukan pesta syukuran desa dengan makan bersama. Manami terjadi saat orang tua dahulu berkeinginan ada kebersamaan dan tamasya melalui adat Eha, hasil tangkapan dibagi dan dimakan bersama.
Pada bulan Januari sampai Maret, dilarang masuk lokasi/ tangkap ikan, yang melanggar pinggir pantai akan dikenakan denda Rp. 100.000, kalau menangkap ikan dendanya Rp. 500.000. Dua hari sebelum hari puncak acara dibuat tali yang panjang, pada hari puncak semua laki-laki diturunkan ke pantai lokasi manami yakni dari tanjung Ondene dan Libuang, mereka saling melingkar, ujungnya ketemu menjadi dua lingkaran, saat bersamaan posisi air laut sudah surut, dan ikan dikumpulkan dengan mudah. Hasil ikan tersebut dibagi-bagikan kepada pimpinan adat, pemerintah, masyarakat dan para tamu. Para tamu berada di bangsal utama yang disediakan, masyarakat di pondokan kecil atau sabuah-sabuah. Ikan untuk masyarakat sebagian dibakar atau dimasak pada masing-masing sabuah. Setelah semua telah siap, diadakanlah makan bersama dengan diiringi pagelaran seni budaya setempat.
Tradisi adat lainnya seperti kunci tahun yang digelar awal bulan Januari. Pesta kunci tahun semacam Tulude di sangihe ini diacarakan dengan tarian perang cakalele serta tarian lainnya. Kemudian pada akhir Januari dilakukan acara pelepasan warga untuk memasuki masa kerja, dimana para pekerja menurunkan alat-alat kerjanya seperti petani menurunkan peda, pegawai menurunkan pena, nelayan menurunkan panggayung, dll. Karena tahun yang baru, mereka menurunkan semua alat-alat dan memohon kepada yang Maha Kuasa untuk diberi kekuatan, pertolongan, berkat dibulan pertama tersebut. Pada bulan keempat (bulan April) dilakukan acara ucapan syukur (hasil panen), dilakukan dengan beribadah ke gereja/ doa di gereja, lalu makan-makan ditiap rumah. Aturan adat setempat masih tergolong kuat terutama dalam mengatur tata moral masyarakat, seperti adanya sangsi kepada mereka yang melakukan pelanggaran moral yang berat, seperti perselingkuhan, pencurian.
Struktur pemerintahan adat masih dipelihara yakni dipimpin seorang Ratumbanua atau Mangkubumi I dengan wakilnya Inanguanua atau Mangkubumi II. Kemudian dibawahnya ada 12 kepala suku yang membawahi masing-masing kelompok keluarga besar. Pemimpin-pemimpin adat ini tidak memiliki periode tetap, tetapi apabila melakukan kesalahan atau mengundurkan diri maka bisa diganti, yang melakukan pergantian adalah masyarakat. Kepala suku diangkat oleh masyarakat oleh anak-anak kepala suku dan Ratumbanua tidak bisa memberhentikan kepala suku. Kalau kepala desa dipilih oleh masyarakat, dalam pemilihan kepala desa, warga lebih melihat figur calon kepala desa meskipun dari suku kecil.
Perekonomian masyarakat pulau Miangas mengandalkan perkebunan Kelapa untuk membuat Kopra, disamping nelayan, pegawai, berdagang, dll. Dahulu masih berlangsung perdagangan pelintas batas pendapatan masyarakat sampai 100-200 ribu per hari, dengan jual beli barang dengan orang-orang Pilipina. Kondisi terakhir sekarang menurut Robustianus seorang warga setempat, bahwa disayangkan pembeli yang datang dari pilipina mendapatkan banyak pungutan resmi dan pungutan liar, sehingga aktivitas jual beli terhenti.
Persoalan pelik lainnya masyarakat menghadapi ketiadaan bahan bakar minyak bumi, yang telah berlangsung lama, apalagi telah adanya larangan menaikan bahan bakar minyak bumi di kapal-kapal pengangkut umum seperti kapal perintis. ”telah disediakan tangki penampung bahan bakar, namun isinya tidak ada, warga sini menjadi sangat kesusahan, tidak bisa melaut lagi, kecuali menangkap ikan dengan mengandalkan panggayung saja. Ini beresiko sebab arus laut setempat sangat besar, kalau tidak pakai mesin, perahu dapat terhanyut ke laut lepas” kata Robustianus Papea yang juga Inanguanua Miangas. Sebagai Inanguanua, Papea menambahkan perlu perhatian kepada pengembangan sejarah budaya setempat terutama fasilitas pada lokasi situs sejarah.
Mengenai sarana prasarana pelabuhan sebagai sarana sangat vital bagi masyarakat setempat belum memecahkan persoalan dalam mengatasi masalah bersandarnya kapal-kapal dari luar Miangas saat terjadi gelombang besar pada dermaga yang ada sekarang. Dengan kondisi demikian masyarakat Miangas akan terisolir selama beberapa bulan karena tidak ada kapal masuk yang membawa stok atau bahan-bahan makanan, dan bahan lainnya. Sehingga solusinya perlu ada dermaga kedua pada bagian pulau lainnya yang berbeda tempat dan saling membelakangi. Kalau cuaca buruk kapal yang ke Miangas akan bersandar di bagian dermaga sebelahnya.
Sejarah pulau Miangas pada awalnya bernama Poilaten yang artinya ”dilihat dari Pilipina seperti kilat”. Alkisah seorang lelaki dari sulawesi tengah (Toli-toli) pergi ke Pilipina Selatan dan kemudian mengawini penduduk setempat. Di Pilipina mereka tinggal di gunung Kulama, gunung tertinggi di Pilipina atau disebut gunung Buki. Suatu saat mereka mendapati pulau ini (Miangas) yang terlihat dari kejauahan seperti kapal dari timur laut. Mereka berdua masing-masing bernama Tinuri dan Sapu menaiki ikan hiu menuju pulau tersebut. Kedua orang itu datang ke pulau Poilaten yang masih kosong lalu tinggal di wilayah Tanjung Merah.
Setelah sekian lama, ada sekelompok orang dari pulau Dampulis (Nanusa, Talaud) berlayar ke Pilipina, dalam perjalanan mereka melihat pulau Poilaten dan tertarik untuk menyinggahinya, sehingga tidak jadi ke Pilipina. Ketika turun dari perahu dilihatnya jejak kaki, dan ia mencari-cari pemilik jejak kaki tersebut. Sewaktu menemukan Tinuri dan Sapu, merekapun mengikat kedua orang itu dan dinaikan ke perahu lalu berlayar kembali menuju Nanusa. Di tengah laut rombongan orang Dampulis membuang kedua orang tersebut ke laut dan melanjutkan perjalanan menuju Nanusa
Tinuri dan Sapu terapung-apung di laut, tiba-tiba ikan hiu yang pernah membawanya dari Pilipina datang lagi, ikan Hiu ini mengembalikan mereka ke pulau. Lama kelamahan orang-orang dari Dampulis datang lagi dengan membawa serombongan masyarakat Nanusa, sampai di pulau dilihatnya lagi, masih ada jejak kaki orang. Sampai bertemu dengan Tinuri dan Sapu yang pernah mereka buang, karena terkejut melihat keduanya masih hidup, orang-orang Dampulis beranggapan ada roh pada mereka sehingga jangan dibunuh lagi. Hingga mereka mulai hidup berdampingan sampai kawin mawin. Sepanjang perjalanan sejarah, pulau Miangas beberapa kali berusaha dikuasai orang Pilipina terutama orang Sulu. Sampai sekarang terdapat beberapa bukti perlawanan/ perang orang Miangas melawan bangsa Pilipina seperti 2 buah benteng di Tanjung Bora dan Wui Batu (gunung keramat sekarang). Perang yang pertama pada waktu kedatangan orang Sulu Pilipina yang datang dengan 11 perahu dan jumlah 100 orang. Sementara di pulau Miangas baru didiami 5 kepala keluarga, dengan jumlah laki-laki ada 25 orang. Mereka membuat benteng di Tanjung Bora. Peperangan dengan tetesan darah para pendekar Miangas yang dipimpin seorang bernama ARE
Peperangan dengan orang Pilipina yang kedua yakni pada era panglima bernama Mura/mur’a. Orang Sulu datang dengan 5 perahu dan sebanyak 50 orang, mereka menyerang lagi. Setelahnya Mura mengambil batu besar dan mengangkatnya, ia menanam batu tersebut sampai dibawah tanah untuk menakuti orang Sulu hingga lari.
Perlawanan ketiga datang lagi orang Sulu berjumlah 25 orang dan tinggal 2 perahu. Yang jadi panglima perang di Miangas orang Belanda dan sudah ada orang Cina yang bermukim, dan berdagang sini bernama Pentan dan Bela. Panglima perang asal Belanda tersebut bernama Andrikus. Merekapun bertarung di depan kantor Pos Angkatan Laut sekarang, dan kekuatan penduduk sudah ratusan orang. Orang Sulu menanyai, ada berapa penduduk dan kepala keluarga disini, dan apakah ada jago silat. Andrikus seorang bertubuh besar dan jago cabut kepala orang, lalu orang Cina tadi, jago silat bela diri. Jagoan dari Sulu dan Miangas saling berhadapan satu lawan satu atau duel. Kemenangan berpihak pada jagoan Miangas, dan orang Sulupun pulang.
Pulau Miangas memiliki beberapa nama, pertama Poilaten yang berarti kilat bahwa disini terpancar cahaya yang dilihat dari Pilipina dan saat 2 orang pertama berada di pulau ini, kilat menandakan bahwa 2 orang itu masih hidup. Nama kedua, Wui Batu yang berarti dilihat seperti batu dari jauh. Nama ketiga Tinonda berarti orang dari Nanusa berlayar kemari atau singgah dipulau ini. Nama keempat Miangas berarti malu atau namea dalam bahasa Sangir, dimana orang dari Talaud datang kesini sudah ada orang, dan menjadi malu. Miangas di artikan juga dengan menangis. Nama kelima, Palmas yang merupakan istilah orang Pilipina karena ada pohon pinang/palem ditanam orang Pilipina (sampai sekarang tersisa satu pohon Palem di Wui Batu), bagi orang Davao Pilipina menyebutnya Tagal Palmas.
Adat di pulau Miangas mengenal adanya Eha atau larangan, semacam Eha untuk Manami seperti Mane’e di pulau Kakorotan. Eha ini melarang orang menangkap ikan pada lokasi tertentu lalu pada saat eha dibuka, masyarakat melakukan penangkapan ikan besar-besaran dan melakukan pesta syukuran desa dengan makan bersama. Manami terjadi saat orang tua dahulu berkeinginan ada kebersamaan dan tamasya melalui adat Eha, hasil tangkapan dibagi dan dimakan bersama.
Pada bulan Januari sampai Maret, dilarang masuk lokasi/ tangkap ikan, yang melanggar pinggir pantai akan dikenakan denda Rp. 100.000, kalau menangkap ikan dendanya Rp. 500.000. Dua hari sebelum hari puncak acara dibuat tali yang panjang, pada hari puncak semua laki-laki diturunkan ke pantai lokasi manami yakni dari tanjung Ondene dan Libuang, mereka saling melingkar, ujungnya ketemu menjadi dua lingkaran, saat bersamaan posisi air laut sudah surut, dan ikan dikumpulkan dengan mudah. Hasil ikan tersebut dibagi-bagikan kepada pimpinan adat, pemerintah, masyarakat dan para tamu. Para tamu berada di bangsal utama yang disediakan, masyarakat di pondokan kecil atau sabuah-sabuah. Ikan untuk masyarakat sebagian dibakar atau dimasak pada masing-masing sabuah. Setelah semua telah siap, diadakanlah makan bersama dengan diiringi pagelaran seni budaya setempat.
Tradisi adat lainnya seperti kunci tahun yang digelar awal bulan Januari. Pesta kunci tahun semacam Tulude di sangihe ini diacarakan dengan tarian perang cakalele serta tarian lainnya. Kemudian pada akhir Januari dilakukan acara pelepasan warga untuk memasuki masa kerja, dimana para pekerja menurunkan alat-alat kerjanya seperti petani menurunkan peda, pegawai menurunkan pena, nelayan menurunkan panggayung, dll. Karena tahun yang baru, mereka menurunkan semua alat-alat dan memohon kepada yang Maha Kuasa untuk diberi kekuatan, pertolongan, berkat dibulan pertama tersebut. Pada bulan keempat (bulan April) dilakukan acara ucapan syukur (hasil panen), dilakukan dengan beribadah ke gereja/ doa di gereja, lalu makan-makan ditiap rumah. Aturan adat setempat masih tergolong kuat terutama dalam mengatur tata moral masyarakat, seperti adanya sangsi kepada mereka yang melakukan pelanggaran moral yang berat, seperti perselingkuhan, pencurian.
Struktur pemerintahan adat masih dipelihara yakni dipimpin seorang Ratumbanua atau Mangkubumi I dengan wakilnya Inanguanua atau Mangkubumi II. Kemudian dibawahnya ada 12 kepala suku yang membawahi masing-masing kelompok keluarga besar. Pemimpin-pemimpin adat ini tidak memiliki periode tetap, tetapi apabila melakukan kesalahan atau mengundurkan diri maka bisa diganti, yang melakukan pergantian adalah masyarakat. Kepala suku diangkat oleh masyarakat oleh anak-anak kepala suku dan Ratumbanua tidak bisa memberhentikan kepala suku. Kalau kepala desa dipilih oleh masyarakat, dalam pemilihan kepala desa, warga lebih melihat figur calon kepala desa meskipun dari suku kecil.
Perekonomian masyarakat pulau Miangas mengandalkan perkebunan Kelapa untuk membuat Kopra, disamping nelayan, pegawai, berdagang, dll. Dahulu masih berlangsung perdagangan pelintas batas pendapatan masyarakat sampai 100-200 ribu per hari, dengan jual beli barang dengan orang-orang Pilipina. Kondisi terakhir sekarang menurut Robustianus seorang warga setempat, bahwa disayangkan pembeli yang datang dari pilipina mendapatkan banyak pungutan resmi dan pungutan liar, sehingga aktivitas jual beli terhenti.
Persoalan pelik lainnya masyarakat menghadapi ketiadaan bahan bakar minyak bumi, yang telah berlangsung lama, apalagi telah adanya larangan menaikan bahan bakar minyak bumi di kapal-kapal pengangkut umum seperti kapal perintis. ”telah disediakan tangki penampung bahan bakar, namun isinya tidak ada, warga sini menjadi sangat kesusahan, tidak bisa melaut lagi, kecuali menangkap ikan dengan mengandalkan panggayung saja. Ini beresiko sebab arus laut setempat sangat besar, kalau tidak pakai mesin, perahu dapat terhanyut ke laut lepas” kata Robustianus Papea yang juga Inanguanua Miangas. Sebagai Inanguanua, Papea menambahkan perlu perhatian kepada pengembangan sejarah budaya setempat terutama fasilitas pada lokasi situs sejarah.
Mengenai sarana prasarana pelabuhan sebagai sarana sangat vital bagi masyarakat setempat belum memecahkan persoalan dalam mengatasi masalah bersandarnya kapal-kapal dari luar Miangas saat terjadi gelombang besar pada dermaga yang ada sekarang. Dengan kondisi demikian masyarakat Miangas akan terisolir selama beberapa bulan karena tidak ada kapal masuk yang membawa stok atau bahan-bahan makanan, dan bahan lainnya. Sehingga solusinya perlu ada dermaga kedua pada bagian pulau lainnya yang berbeda tempat dan saling membelakangi. Kalau cuaca buruk kapal yang ke Miangas akan bersandar di bagian dermaga sebelahnya.