Jumat, 14 September 2012

TRILOGI CANGKE (Permainan Berkelompok Anak-Anak Siau)


Saya masih ingat persis cara bermain cangke. Cangke adalah permainan anak-anak di pulau Siau yang menggunakan dua potong kayu. Kayu yang digunakan pada umumnya belahan bambu. Tetapi bisa juga menggunakan kayu yang lebih keras dan berbentuk bulat memanjang. Potongan kayu yang digunakan sebagai pemukul, ukurannya lebih panjang. Biasanya 60 cm sampai 70 cm. Sementara kayu yang lebih pendek ukurannya hanya sekitar 20 cm saja. Kayu pendek itu menjadi rebutan dalam permainan cangke.

Cangke dimainkan oleh dua orang atau lebih secara kelompok berpasangan. Tetapi sangat jarang dimainkan oleh lebih dari 3 pasang atau 6 orang pada ruang yang relatf sempit. Sebelum permainan dimulai, pemain terlebih dahulu menggali lubang berbentuk lonjong yang ujung depannya dibuat lancip. Pasangan yang akan bermain terlebih dahulu melakukan suten jari tangan, sebagai pembuka sekaligus penentuan siapa atau kelompok mana yang akan menjadi pemukul dan penangkap kayu pendek. Aturannya, pemenang suten bertindak sebagai pemain yang memainkan permainannya di lubang dan yang kalah dalam tahapan suten menjadi penangkap kayu pendek. Pihak yang kalah suten ini berdiri berjejer pada jarak kurang lebih 5 hingga 15 meter di depan lubang.

Ada tiga tahapan (stage) yang harus dilakukan oleh pihak-pihak yang bermain di lubang, yaitu:
  1. Stage Soi. Tahap soi ini adalah tahapan paling mudah dikerjakan oleh kedua tim. Salah satu dari anggota kelompok pemukul melakukan tahap soi dengan cara meletakkan kayu pendek melintang di atas lubang lalu kayu pemukul dimasukan kedalam lubang persis menyalib kayu pendek kemudian diangkat sekuat-kuatnya kedepan atau dapat diangkat perlahan sesuai dengan posisi kelompok lawan main yang berjejer di depan. Strategi orang yang melakukan soi pada umumnya memilih celah tempat dimana tidak ada orang berdiri sehingga kayu pendek itu tidak bisa ditangkap oleh kelompok lawan. Bilamana salah seorang dari kelompok lawan berhasil menangkap kayu pendek yang sedang melayang di udara dengan sebelah tangan, maka hitungan pointnya adalah 100 dan kelompok pemukul dinyatakan kalah. Permainan dimenangkan oleh kelompok penangkap. Kompensasinya adalah pasangan dari anggota kelompok yang kalah harus bersedia menggendong pasangannya sampai pada titik terjauh dari kayu pendek yang akan dipukul oleh kelompok penangkap selaku pemenang permainan. Akan tetapi, jika ternyata kelompok penangkap berhasil menangkap kayu kecil dengan dua tangan, maka point yang diperoleh adalah 50. Kelompok penangkap harus menambah pointnya pada kesempatan menangkap di tahap kedua dan atau tahap ketiga. Tetapi jika kelompok penangkap gagal menangkap kayu kecil pada tahap soi ini, itu artinya kesempatan bagi kelompok pemukul untuk melanjutkan tahapan kedua.     
  2. Stage Pepele. Tahap ini permainan mulai menantang. Ada tiga cara memukul; cara pertama yang biasanya diterapkan oleh pemain yang berjenis kelamin perempuan, yaitu, memposisikan kayu kecil dipegang oleh tangan kiri (bagi yg bukan kidal) atau kanan (bagi yg kidal) pada posisi kayu kecil terletak horisontal, lalu dipukul dari arah bawah seperti sedang melakukan service pada permainan badminton. Cara kedua agak sedikit menakuti lawan main, yaitu dengan meletakkan kayu kecil pada posisi vertikal sehingga hasil pukulannyapun cukup keras. Bagi kelompok penangkap yang berdiri pada jarak dekat dengan pemukul, biasanya tidak berani menangkap pukulan bentuk kedua ini dan berusaha menghindar dari arah yang disasar pemukul. Cara ketiga, adalah cara paling keras, yaitu melempar kayu pendek ke udara lantas dipukul dengan kuat sehingga semua anggota kelompok penangkap baik yang di depan maupun yang di belakang pada jarak terjauhpun tidak berani menangkap kayu yang melayang dari pukulan ketiga ini karena tekanannya sangat kuat. Sangat beruntung bagi kelompok penangkap apabila mereka berhasil menangkap kayu pendek yang dimainkan oleh kelompok pemukul pada tahapan pepele ini. 
  3. Stage Cangke. Tahap cangke merupakan tahap puncak sekaligus misi penutup bagi kelompok pemukul. Stage ketiga ini paling menegangkan. Jarang sekali ada kelompok pemukul yang mampu memainkan stage ini dengan sangat sempurna. Tingkat kesulitannya amat tinggi. Ini merupakan kombinasi antara stage 1 dan 2. Kayu kecil diletakkan pada bagian ujung lubang yang lancip dengan posisi kayu pendek mengikuti bentuk lancip dan setengah berdiri. Ujung kayu kecil itu harus lebih menjorok keluar lubang kira-kira 3 cm sampai 6 cm. Posisi memukul dari samping lubang. Bagian yang akan dipukul adalah ujung kayu kecil yang menjorok keluar itu, dengan cukup tenaga dan perasaan, sehingga kayu kecil akan melenting ke atas udara setinggi pandangan pemukul, kemudian pemukul wajib memukul pendek perlahan untuk satu kelipatan 5 poin. Kayu kecil itu makin kuat dipukul makin cepat melesat geraknya kedepan ke arah lawan sehingga memungkinkan lawan untuk menangkap (itupun jika lawan berani menangkap), tetapi jika tidak, maka peluang pemukul semakin besar untuk menambah kelipatan 5 pada pukulan kedua dan seterusnya. Pukulan pemukul pada stage 3 ini disebut pukulan cangke. Bila pemukul berhasil memukul sampai 2 kali, dan pada pukulan ke 2 kayu pendek sudah jatuh ke tanah pada jarak yang dekat dengan posisi lubang, selanjutnya akan dihitung kumpulan poin dari tim pemukul dimulai dari angka 10. Cara menghitungnya dilakukan dengan meletakan kayu panjang pada posisi jatuh kayu pendek ke arah yang simetris dengan posisi mulut lubang. Jika jumlah hitungan mencapai angka 100, artinya kelompok pemukul berhasil memenangkan permainan. Kompensasinya adalah digendong oleh kelompok penangkap yang kalah itu. Tetapi lain halnya ketika pada stage 3 ini, ternyata kelompok penangkap berhasil menangkap pukulan cangke yang amat berbahaya itu dengan satu tangan, maka kelompok pemukul harus mengakui kekalahannya.    
Permainan ini tidak diketahui persis kapan mulai ditemukan. Tetapi saya tahu persis bahwa di kampungku Laghaeng, generasi terakhir yang memainkan permainan cangke adalah generasi saya. Kami bermain sekitar kurun tahun 80-an. Sejak saat itu beberapa orang tua menganjurkan pelarangan terhadap anak-anak mereka untuk tidak melestarikan permainan ini karena terlampau berbahaya. Sayang sekali, seharusnya kita memodifikasi permainan ini dengan menggunakan alat bantu yang dapat digunakan sebagai pelindung. Bagi saya, permainan ini penting dilestarikan karena terkait dengan pembentukan karakter saya sebagai pribadi orang Siau yang malunsemahe.

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Kalau di Kampung Talawid, waktu kecil kami memainkan cangke menggunakan media pelepah sagu yang telah kering (lembaha). Sehingga lebih aman / tidak membahayakan bagi anak-anak yang memainkannya.

    BalasHapus