Cerita ini terjadi kira-kira tahun tahun 1000 (Masehi). Di sebuah teluk di Molibagu wilayah Bolaang Mongondow terdapat sebuah kerajaan yang diperintah oleh raja Budulangi dan permaisurinya Putri Ting yang dikaruniai seorang putri bernama Toumatiti. Marga mereka adalah Bowontehu. Toumatiti, walaupun seorang putri raja tetapi ia gemar mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti mencari kayu bakar dan lain-lain.
Suatu saat seperti biasanya Toumatiti mencari kayu bakar ke hutan. Ketika ia sedang beristirahat, tiba-tiba terdengar suara merdu seekor burung memanggilnya dari pucuk pohon Lampawanua. Didorong oleh rasa ingin tahu siapakah pemilik suara itu, putri mengambil sepotong kayu lantas memukul pangkal pohon itu dengan harapan burung itu terbang, sehingga ia dapat melihat burung itu lebih baik. Namun si burung tidak juga terbang, mala bertanya: "siapa yang memukul pangkal Lampawanua ini?". Toumatiti berkata, "tolong beritahu nama Anda yang berbicara dari atas pohon ini." Sang burungpun menjawab, "Bertanyalah kepada orang yang tepat, yang berasal dari marga lain." Taumatiti penasaran ingin melihat siapa pemilik suara itu.
Kemudian burung itu memanggilnya naik hingga ke pucuk Lampawanua. Sesampainya di pucuk Lampawanua, si burung sudah pergi, yang ditemukan Toumatiti hanyalah sebutir telur putih licin. Diambilnya telur itu dan dibawa pulang ke istana. Berkatalah Budulangi ayah Toumatiti, "telur ini adalah telur pembawa keberuntungan bagi seluruh rakyat Bowontehu, oleh sebab itu simpanlah dengan baik." Dalam sekejap telur itu bertambah besar. Melihat keanehan itu, raja Budulangi mengumpulkan rakyatnya untuk mengadakan upacara. Mereka berdoa dan memohon berkat Tuhan agar telur ajaib itu benar-benar membawa keberuntungan. Telur itu kemudian berhenti membesar dan mereka berhenti mengadakan upacara. Berkatalah raja: "buatlah tempat khusus bagi telur ini, berhati-hati dan teliti meletakkannya karena telur ini bukan telur biasa".
Toumatiti keletihan dan beristirahat tidur. Dalam tidurnya ia bermimpi melihat seorang pangeran mendekat dan tidur bersamanya. Kunjungan sang pangeran sering terjadi lewat mimpi sehingga si putri itu akhirnya hamil. Toumatiti melahirkan seorang putra yang dinamakan Mokodaludu yang berarti "pangeran dari khayangan". Mokodaludu bertumbuh menjadi pria dewasa dan menikahi Putri Baunia. Putri Baunia ditemukan oleh sepasang suami-isteri petani bernama Sanaria dan Amaria dari sebuah bambu kuning yang tipis.
Setelah Raja Budulangi mangkat, kerajaan Bowontehu dipimpin oleh Mokodaludu. Mokodaludu menginginkan keadaan yang selalu damai dan menghindari perang yang saat itu sering terjadi antara kerajaan-kerajaan sekitarnya. Mokodaludu memutuskan untuk pindah ke sebuah tempat bernama Pasolo di arah timur Bowontehu. Persisnya di pulau Lembe di tempat yang dinamakan Baling-baling sebelah timur Malesung (Minahasa). Di Baling-baling, Mokodaludu dan rakyatnya diserang oleh orang Mori yang berasal dari teluk Tomini dan juga dari Daloda, sehingga rakyatnya terpaksa mengungsi ke arah tengah Malesung untuk mencari tempat yang baru. Mereka menempuh perjalanan naik turun gunung dan berliku mirip gelang. Oleh Mokodaludu, tempat itu disebut "Lokon" atau "Belitan" yang letaknya di samping Tomohon.
Selama menetap di kaki gunung Lokon Mokodaludu dan isterinya memperoleh seorang putra yang dinamakan Lokongbanua. Mereka tidak lama menetap di kaki Lokon. Mokodaludu kembali mengadakan migrasi ke pesisir pantai. Mereka mendapati sebuah pulau yang disebutnya Bentenang karena serupa Pasang Bentenang artinya "tempat berangkatnya perahu-perahu".
Beberapa waktu kemudian mereka berpindah lagi sampai akhirnya menetap di pulau Manaro (sekarang disebut Manado Tua). Selama Mokodaludu menetap di pulau Manaro, ia dikaruniai tiga orang anak, yaitu putra keduanya bernama Jayubangkai, sedangkan anak ketiga dan keempat adalah putri-putri yang diberikan nama Urinsangian dan Sinangiang. Dengan demikian Mokodaludu dan Putri Baunia memiliki dua pasang anak.
Suatu saat, Mokodaludu memintakan rakyat membuat sebuah bininta (kapal kecil) untuk keperluan keluarga kerajaan. Bininta itu kemudian diuji kemampuan melaut, mengapung, kecepatan berlayar dan disaat didayung (memolase). Dalam masa ujicoba kendaraan ini, Lokongbanua, Uringsangiang dan Sinangiang ikut serta. Yang menjadi kapten kapal bininta adalah Manganguwi sedangkan jurumudinya adalah Batahalawo. Isteri dari Kapten Manganguwi bernama Bikibiki juga ikut selaku jurumasak. Orang lain yang turut dalam "pemolaseng bininta" itu adalah dua orang biduan, yang bernama Banea dan Tungkela.
Sebelum berangkat, Raja Mokodaludu memperingatkan ketiga anaknya agar tidak mengucapkan sepatakatapun disaat mereka sedang di laut dan melihat keganjilan-keganjilan tidak biasa, maupun melihat pulau-pulau. Namun kedua puteri raja itu lupah pesan ayah mereka dan ketika melihat pulau spontan mereka bertanya: "pulau apa itu?". Tiba-tiba bertiuplah angin kencang yang menyeret bininta hingga terdampar di sebuah pulau dan bininta mereka kandas (taghuwala nawalandang) di tempat yang mereka namakan Buhiase. Setelah lolos dari kandas itu, mereka kemudian berniat kembali ke Manaro. Tetapi angin semakin kencang dan kembali menyeret mereka lebih jauh hingga terdampar di sebuah tanjung kecil. Mereka membuka perbekalan di sana yaitu "empihise" (ketupat). Pulau itu dinamakan "empihise". Kemudian mereka melanjutkan lagi pelayaran menyusuri pantai untuk mencari tambahan perbekalan hingga tiba di "Siawu" atau "Silawu" yaitu mereka menemukan sejenis ubi jalar liar. Tempat ini diberikan nama Siawu yang selanjutnya disebut Siau. Mereka juga mencari sumber air dan menemukannya di Bangkasia, yaitu tempat yang konon merupakan tempat mandi sembilan bidadari dan tempat bagi Sensemadunde menemukan jodohnya.
Kedua putri raja ini tidak mau menetap di Siawu. Mereka merengek-rengek pada kakaknya Lokongbanua untuk kembali ke negeri bapaknya. Tetapi angin terus mengantar bininta mereka menuju utara dan tiba di sebuah daratan besar. Kedua putri itu hanya bisa menangis tak henti-hentinya, sehingga pulau itu dinamakan Sangi. Kemudian lama kelamaan dinamakan Sangir. (Diringkas dari cerita Haremson E. Juda dalam Manga Wekeng Asal'u Tau Sangihe, 1995:59-66)
Suatu saat seperti biasanya Toumatiti mencari kayu bakar ke hutan. Ketika ia sedang beristirahat, tiba-tiba terdengar suara merdu seekor burung memanggilnya dari pucuk pohon Lampawanua. Didorong oleh rasa ingin tahu siapakah pemilik suara itu, putri mengambil sepotong kayu lantas memukul pangkal pohon itu dengan harapan burung itu terbang, sehingga ia dapat melihat burung itu lebih baik. Namun si burung tidak juga terbang, mala bertanya: "siapa yang memukul pangkal Lampawanua ini?". Toumatiti berkata, "tolong beritahu nama Anda yang berbicara dari atas pohon ini." Sang burungpun menjawab, "Bertanyalah kepada orang yang tepat, yang berasal dari marga lain." Taumatiti penasaran ingin melihat siapa pemilik suara itu.
Kemudian burung itu memanggilnya naik hingga ke pucuk Lampawanua. Sesampainya di pucuk Lampawanua, si burung sudah pergi, yang ditemukan Toumatiti hanyalah sebutir telur putih licin. Diambilnya telur itu dan dibawa pulang ke istana. Berkatalah Budulangi ayah Toumatiti, "telur ini adalah telur pembawa keberuntungan bagi seluruh rakyat Bowontehu, oleh sebab itu simpanlah dengan baik." Dalam sekejap telur itu bertambah besar. Melihat keanehan itu, raja Budulangi mengumpulkan rakyatnya untuk mengadakan upacara. Mereka berdoa dan memohon berkat Tuhan agar telur ajaib itu benar-benar membawa keberuntungan. Telur itu kemudian berhenti membesar dan mereka berhenti mengadakan upacara. Berkatalah raja: "buatlah tempat khusus bagi telur ini, berhati-hati dan teliti meletakkannya karena telur ini bukan telur biasa".
Toumatiti keletihan dan beristirahat tidur. Dalam tidurnya ia bermimpi melihat seorang pangeran mendekat dan tidur bersamanya. Kunjungan sang pangeran sering terjadi lewat mimpi sehingga si putri itu akhirnya hamil. Toumatiti melahirkan seorang putra yang dinamakan Mokodaludu yang berarti "pangeran dari khayangan". Mokodaludu bertumbuh menjadi pria dewasa dan menikahi Putri Baunia. Putri Baunia ditemukan oleh sepasang suami-isteri petani bernama Sanaria dan Amaria dari sebuah bambu kuning yang tipis.
Setelah Raja Budulangi mangkat, kerajaan Bowontehu dipimpin oleh Mokodaludu. Mokodaludu menginginkan keadaan yang selalu damai dan menghindari perang yang saat itu sering terjadi antara kerajaan-kerajaan sekitarnya. Mokodaludu memutuskan untuk pindah ke sebuah tempat bernama Pasolo di arah timur Bowontehu. Persisnya di pulau Lembe di tempat yang dinamakan Baling-baling sebelah timur Malesung (Minahasa). Di Baling-baling, Mokodaludu dan rakyatnya diserang oleh orang Mori yang berasal dari teluk Tomini dan juga dari Daloda, sehingga rakyatnya terpaksa mengungsi ke arah tengah Malesung untuk mencari tempat yang baru. Mereka menempuh perjalanan naik turun gunung dan berliku mirip gelang. Oleh Mokodaludu, tempat itu disebut "Lokon" atau "Belitan" yang letaknya di samping Tomohon.
Selama menetap di kaki gunung Lokon Mokodaludu dan isterinya memperoleh seorang putra yang dinamakan Lokongbanua. Mereka tidak lama menetap di kaki Lokon. Mokodaludu kembali mengadakan migrasi ke pesisir pantai. Mereka mendapati sebuah pulau yang disebutnya Bentenang karena serupa Pasang Bentenang artinya "tempat berangkatnya perahu-perahu".
Beberapa waktu kemudian mereka berpindah lagi sampai akhirnya menetap di pulau Manaro (sekarang disebut Manado Tua). Selama Mokodaludu menetap di pulau Manaro, ia dikaruniai tiga orang anak, yaitu putra keduanya bernama Jayubangkai, sedangkan anak ketiga dan keempat adalah putri-putri yang diberikan nama Urinsangian dan Sinangiang. Dengan demikian Mokodaludu dan Putri Baunia memiliki dua pasang anak.
Suatu saat, Mokodaludu memintakan rakyat membuat sebuah bininta (kapal kecil) untuk keperluan keluarga kerajaan. Bininta itu kemudian diuji kemampuan melaut, mengapung, kecepatan berlayar dan disaat didayung (memolase). Dalam masa ujicoba kendaraan ini, Lokongbanua, Uringsangiang dan Sinangiang ikut serta. Yang menjadi kapten kapal bininta adalah Manganguwi sedangkan jurumudinya adalah Batahalawo. Isteri dari Kapten Manganguwi bernama Bikibiki juga ikut selaku jurumasak. Orang lain yang turut dalam "pemolaseng bininta" itu adalah dua orang biduan, yang bernama Banea dan Tungkela.
Sebelum berangkat, Raja Mokodaludu memperingatkan ketiga anaknya agar tidak mengucapkan sepatakatapun disaat mereka sedang di laut dan melihat keganjilan-keganjilan tidak biasa, maupun melihat pulau-pulau. Namun kedua puteri raja itu lupah pesan ayah mereka dan ketika melihat pulau spontan mereka bertanya: "pulau apa itu?". Tiba-tiba bertiuplah angin kencang yang menyeret bininta hingga terdampar di sebuah pulau dan bininta mereka kandas (taghuwala nawalandang) di tempat yang mereka namakan Buhiase. Setelah lolos dari kandas itu, mereka kemudian berniat kembali ke Manaro. Tetapi angin semakin kencang dan kembali menyeret mereka lebih jauh hingga terdampar di sebuah tanjung kecil. Mereka membuka perbekalan di sana yaitu "empihise" (ketupat). Pulau itu dinamakan "empihise". Kemudian mereka melanjutkan lagi pelayaran menyusuri pantai untuk mencari tambahan perbekalan hingga tiba di "Siawu" atau "Silawu" yaitu mereka menemukan sejenis ubi jalar liar. Tempat ini diberikan nama Siawu yang selanjutnya disebut Siau. Mereka juga mencari sumber air dan menemukannya di Bangkasia, yaitu tempat yang konon merupakan tempat mandi sembilan bidadari dan tempat bagi Sensemadunde menemukan jodohnya.
Kedua putri raja ini tidak mau menetap di Siawu. Mereka merengek-rengek pada kakaknya Lokongbanua untuk kembali ke negeri bapaknya. Tetapi angin terus mengantar bininta mereka menuju utara dan tiba di sebuah daratan besar. Kedua putri itu hanya bisa menangis tak henti-hentinya, sehingga pulau itu dinamakan Sangi. Kemudian lama kelamaan dinamakan Sangir. (Diringkas dari cerita Haremson E. Juda dalam Manga Wekeng Asal'u Tau Sangihe, 1995:59-66)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar